“Ngga pinter sih, untung cakep.”
“Ngga pinter, ngga cakep, tapi tajir melintir beb..”
“Sebenernya dia dari keluarga biasa aja, tapi pinter banget. Makanya bisa sekolah di tempat kece..”
Pernah denger yang begini? Atau sering?
Ibu dulu pernah berkata; “Hidup itu susah, kecuali kamu kaya, berparas rupawan, atau pintar, atau bahkan semuanya.”
Aku tidak dilahirkan sebagai putri cantik dari keluarga kaya raya. Atau berotak cerdas tanpa harus belajar extra. I don’t have that privilege.
...
Aku juga sering dengar orang berkata;
“Kalo kamu cakep, setengah masalah hidupmu tuh ilang.”
Kemudian ganti kata cakep dengan kaya raya dan pintar.
Sering terjadi? No?
...
Aku tumbuh menjadi orang yang didorong menjauh ketika ada yang lebih cantik sedang berjalan di koridor kelas, juga yang suaranya tidak dihiraukan ketika ada anak pintar sedang berbicara. Dan, ah ya, aku juga tumbuh dengan teman-temanku yang menunggu sopir pribadi mereka datang, ketika aku bahkan tidak berani untuk sekedar meminta sepatu baru kepada Bapak.
Aku memulai semuanya dari nol. Nol besar mungkin. Bapak dan Ibu mungkin tidak memberi aku modal harta melimpah. Juga wajah rupawan. Atau otak encer sehingga mudah saja melakukan apapun.
Aku hidup biasa-biasa saja. Kemampuan yang biasa saja. Semuanya serba biasa, sampai kemudian aku sadar. Aku punya bahu yang kuat. Berkat yang melimpah. Senyum yang hangat. Mata yang ceria. Orang-orang yang penyayang.
That’s what we call privilege. Hak istimewa, tidak semua orang punya. I’m so proud of me! 🤗
...ditulis dari handphone, for killing the time, dalam keadaan mata sembap habis menangis dan bertekad menyerah,
tapi kemudian inget, I have a “first-daughter” shoulder. I shouldn’t give up.