Dinding Tebal Itu...


Dua tahun lalu, ketika aku menjadi seorang mahasiswa baru di sebuah kampus di kotaku, sebuah cerita dimulai..

Kamu, datang tiba-tiba. Mengirim pesan ke akun sosial mediaku, untuk meminta bertukar nomor handphone, dengan alasan, kamu adalah panitia ospek kala itu. Bodohnya, saat itu, kamu tau aku sedang tidak sendiri, dan kamu masih nekat menghubungiku. Betapa lebih bodohnya aku, yang masih saja menanggapimu, menanggapi jokesmu yang tidak lucu, namun bisa membuatku tertawa, lepas, melupakan segala pelik yang ada. Kamu, yang jika denganku slalu bertingkah manja dan menyebalkan, khas anak kecil, namun bisa menjadi seorang dewasa ketika bertemu dengan orang lain..


Semakin lama, aku dan kamu makin tidak bisa dilepaskan. Kamu, dan aku, menjadi kita. Aku, yang saat itu memiliki orang lain, rela melepaskannya hanya untuk satu hal, kamu. Orang bilang aku bodoh, orang bilang aku pasti akan menyesal, orang bilang karma akan datang, orang bilang....


Aku, menutup telingaku rapat-rapat. Aku tau, kamu, tidak lebih baik dari dia yang kutinggalkan. Aku tau, kamu, sama sekali bukan tipeku. Aku tau, kamu, juga bukan orang yang bisa membuatku luluh lantak. Aku tau, kamu, dan aku, terpisah oleh sebuah dinding tebal, yang sulit untuk diruntuhkan. Ya. Keyakinan.
Kita, terlahir di tanggal yang sama, dan bulan yang sama. Kita, berwajah mirip. Kita, juga punya karakter yang hampir sama. Kita, yang kata orang akan berjodoh, karena kita, sama.

Namun, belum sempat aku bahagia, aku kembali ingat, ada sebuah dinding tebal yang akan sangat sulit untuk diruntuhkan.

Keyakinan kita berbeda. Aku pergi ke Gereja, dan kamu sembahyang di Pura.

...

Aku tau, aku sangat tau, dinding tebal itu bukan hanya sulit untuk diruntuhkan, namun tidak mungkin untuk diruntuhkan.

Kembali, orang-orang bertanya, apakah aku tidak menyesal telah memilihmu masuk ke duniaku?

Jawabanku hanya satu, tidak.

Aku masih ingat betul, kita, saling membicarakan masa depan. Kamu, yang ingin pergi ke luar pulau untuk mencari kerja setelah lulus, dan aku, yang ingin menjadi seorang news anchor nantinya. Tak lupa, kamu, memasukkan namaku ketika kamu merancang masa depanmu sedemikian rupa. Aku ingat betul ketika kamu berkata, "Gue pengen cepet lulus, gue mau ke Makassar, kerja di pertambangan, terus gue balik kesini, dan gue nikahin lo. Buruan lulus makanya!"


Aku tersenyum lebar ketika kamu, selalu memberiku semangat dengan caramu yang menyebalkan itu. Aku tau, kamu, yang sering mabuk, tapi selalu belajar hingga tengah malam. Kalkulus bikin kram otak, katamu. Ketika kusuruh kamu untuk istirahat, kamu selalu bilang, "Kalo ga belajar gue ga bakal lulus cepet ntar! Siapa yang bakal cari duit buat nikahin lo?!"


Hei, kamu. Aku tersenyum ketika menulis ini.


Aku dan kamu, kita,  berjalan seperti layaknya "kita" yang lain. Kita juga punya seorang anak, hei, masih ingat? Ya, Yugi, kura-kura itu. Kita, yang pernah panik mencari sayur di malam hari hanya untuk memberi makan Yugi, yang saat itu tidak mau makan.


Sampai akhirnya, dinding tebal itu membuatku tersadar. Kita tidak bisa seperti ini terus. Namun aku tau, aku dengan keyakinanku, dan kamu, dengan keyakinanmu. Kita, tak bisa bersatu.

...

Kamu, jauh dari kata romantis. Kita bahkan tak pernah merayakan ulangtahun kita yang bersamaan itu. Tapi kamu, adalah seorang yang pernah berkata, "Ga usah pindah agama, kita nikah aja di Bali, atau di luar negri, atau dimana aja asal tanpa syarat keyakinan sama."

Menurutku, itu lebih dari romantis.

Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa meruntuhkan dinding tebal itu.

Aku, dan kamu, yang menjadi kita, kini tak ada lagi. Aku sendiri, dan kamu sendiri. Kita, masing-masing. Aku, yang kini selalu bersikap acuh, ketika kamu menghubungiku hanya untuk meminta bertemu. Aku, yang kini seakan tidak peduli bahwa ada rindu yang kamu pendam begitu besarnya.


Aku, hanya bisa memandangmu dari kejauhan, dan itu lebih dari cukup untukku. Aku pun tersenyum ketika melihatmu menggandeng tangan perempuan baru dalam hidupmu.


Semoga tak ada dinding tebal lagi didalam hubunganmu, kak.

...

Orang masih sering berkata, "Udah nyesel belom? Ninggalin yang baik demi yang ga lebih baik, udah tau beda agama tapi masih dijalanin, akhirnya putus sia-sia kan?"

Dan jawabku pun masih tetap sama, tidak.

Tidak pernah ada penyesalan untukku, karena menurutku, kamu, tidak buruk. Kamu, telah mengajarkanku untuk berjuang, berjuang untuk segalanya. Orang berpikir, bahwa kisahku ini sebuah kisah cinta yang menyedihkan, namun ternyata mereka semua salah. Justru aku bahagia. Terbukti dari rasa sebuah gelombang hangat yang masuk di dadaku ketika aku menulis ini.

....

Hei, segera kerjakan skripsimu! Cepatlah lulus, dan aku ingin lihat kamu sukses di masa depan!

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar