Silamat Hawi Ibu, Mamirong!

22 Desember, Hari Ibu kan ya?


Pagi itu, tidak ada bedanya dengan pagi-pagi lainnya. Saya bangun seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa. Ya memang tidak ada apa-apa, kan?


Yang sedikit berbeda adalah ketika saya sadar bahwa hari itu adalah tanggal 22 Desember, yang biasa diperingati sebagai Hari Ibu. Jujur, di keluarga saya tidak pernah ada acara ucap mengucap selamat, apapun itu. Hari ulang tahun, hari ibu, hari apapun itu. Seakan semuanya biasa saja.


Tidak, saya tidak akan banyak mengucap banyak terimakasih untuk ibu saya dalam postingan ini. Saya hanya ingin sedikit menceritakan bagaimana ibu saya, bagaimana beliau membentuk saya menjadi seorang seperti sekarang, bagaimana beliau bisa menjadi seorang yang kuat menghadapi kami (ayah dan anak-anaknya) yang terkadang menjengkelkan minta ampun.


Ibu saya, dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, hingga suatu saat ayah dari ibu saya (kakek saya) meninggal dunia. Saat itu ibu masih duduk di bangku kelas 2 SMA, usia labil yang sangat membutuhkan kasih sayang ayah, apalagi ibu saya sangat dekat dengan ayahnya. Ibu bercerita, saat itu, ibu rela menjual banyak perhiasan juga harus membantu nenek beternak ayam, untuk menyambung hidup, juga untuk biasa sekolah.


Beruntung, nenek saya adalah tipe orang yang disiplin, namun tidak keras. Nenek saya mendorong ibu saya untuk tetap berkuliah walaupun keadaan keuangan yang mepet. Beruntungnya lagi, ibu saya merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara dan memiliki 3 kakak laki-laki yang bisa membantu ibu saya dalam biaya berkuliah. Maka, berangkatlah ibu ke Surabaya untuk berkuliah.


Ibu bekerja sembari berkuliah. Takut membebani eyang ti, ibu bilang. Maka, mulai saat itu, ibu membiayai kuliahnya sendiri, dan berhasil lulus dengan predikat cumlaude. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bahagianya nenek saya juga ketiga kakak ibu saya, melihat ibu saya saat itu.


Ibu saya kemudian bekerja di sebuah pelabuhan di kota Surabaya. Memiliki penghasilan sendiri, ibu saya menjadi orang yang mandiri. Sampai suatu ketika, ibu saya bertemu dengan laki-laki yang kini menjadi ayah saya.


Ayah saya bukan lahir dari keluarga yang berkecukupan, ayah saya orang yang sangat sederhana. Eyang ti, saat itu menolak habis-habisan ayah saya. Namun, ibu saya tetap selalu membela laki-laki itu, hingga mereka menikah. Mereka hidup dari kamar kost satu ke kost yang lain, hingga saya lahir.
Saat itu, saya baru lahir, kata ibu saya. Ayah dan ibu saya mulai mencari rumah kontrakan. Dan karena ayah dan ibu bekerja, maka saya dititipkan pada pembantu. Hidup saya tidak pernah berkekurangan, walaupun kami hidup berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Badan saya gendut, khas anak kecil yang makannya banyak.


Dan kemudian, ibu hamil anak kedua. Juga ketika itu, ibu sakit usus buntu. Saya ingat sekali waktu itu, mbak pembantu memakaikan saya sebuah jaket merah dan berkata, “Ayo non, nengok ibu di rumah sakit, kita liat adeknya non Martha.”


Sesampainya di rumah sakit, tidak ada adik bayi yang saya idamkan. Hanya ibu yang tergeletak lemas di ranjang rumah sakit dengan beberapa selang menempel di tubuhnya. Sayup-sayup saya mendengar kata “keguguran” kala itu. Saya tidak tau apa artinya, namun yang saya tau saat itu, adik saya diambil Tuhan untuk diajak jalan-jalan.


Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi ibu saya saat itu.


Kemudian, setelah usia saya 8 tahun, ibu hamil, untuk yang ketiga kalinya. Bayinya perempuan, lahir sehat. Dan saat itu, saya dan adik saya dititipkan ke pembantu.


Suatu saat, ibu dan ayah saya membicarakan sesuatu. Dan besoknya, ibu saya tidak pergi bekerja. Besoknya lagi, tidak bekerja. Besoknya lagi, tidak bekerja lagi. Begitu seterusnya, sampai saat ini. Ya, ibu saya berhenti bekerja.


Dan sekarang, saat ibu saya ditanya tentang kenapa berhenti bekerja, sayang kan gelar sarjananya? Ibu saya selalu menjawab, “saya sebenarnya tidak rela mengorbankan gelar saya jika hanya dipakai di rumah. Tapi saya lebih tidak rela lagi jika anak-anak saya diasuh oleh orang yang tidak berpendidikan.”


Saya tersenyum. Ibu saya, walaupun seorang ibu rumah tangga biasa, namun merupakan ibu yang hebat menurut saya. Ibu saya bisa menyetir mobil kemana-mana sendiri, tidak ada mobil? Ibu saya bisa membawa motor ikut serta dengannya. Naik angkot pun ibu saya sanggup. Mengecek hasil pekerjaan tukang bangunan di rumah? Ibu saya sanggup. Mengecek hasil pekerjaan rumah adik saya? Ibu saya mahir. Membantu ayah membetulkan peralatan elektronik? Jangan khawatir, ibu saya pandai.


Ibu saya, selalu mendorong anak-anak perempuannya untuk selalu maju. Selalu mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Mendorong kami untuk selalu menjadi diri sendiri, yang mandiri, yang bisa mengerjakan apapun tanpa harus memohon manja meminta bantuan laki-laki. Ibu saya, yang terbiasa ditinggal jauh oleh ayah saya, kini menjadi figur contoh bagi kami anak-anak perempuannya, bagaimana seharusnya menjadi seorang perempuan.


Ibu saya, seorang ibu yang santai. Tengoklah bagaimana saya dan adik saya memanggil beliau. “Mamirong”, alias mami garong. Dan ibu saya santai saja menelpon saya dengan bahasa “udah makan belum bro?”. Saya dan adik saya terbiasa menyebut ibu dengan sebutan “kamu”, bukan “sampean”, atau lainnya. Ayah saya sering ngomel akan hal ini, namun ibu selalu menjawab sambil tersenyum. “ngga papa anak-anak seperti itu ke saya, toh mereka anak-anak kandung saya. Dan walaupun anak-anak saya memanggil saya seperti itu, mereka tidak pernah kehilangan sopan santun dan rasa sayang terhadap saya.”


Saya juga pernah mendengar ayah saya berbisik “ibumu orang hebat, nduk. Bisa diajak senang, bisa diajak susah bareng, bisa diajak serius, bisa diajak semuanya bersama.”



I'm so proud of you, Rong. Happy Mother's Day!

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

1 komentar: