Ya, lagi-lagi tentang bersyukur.

Jujur saja, saya dulunya memang lebih sering menggunakan angkot untuk menemani saya kemanapun saya pergi (karena kini setelah mengenal Anggian saya jadi punya tebengan ke kampus ok terimakasih Anggian). Saya dulunya sering sekali naik angkot ke kampus, ke tempat nongkrong, kemanapun. Masih berhubungan dengan angkot (ceilah angkot aja punya hubungan terus kita kapan mz) cerita saya kali inipun sebenarnya sudah termasuk cerita lama yang mager belum sempat saya tuliskan disini hehe.


And here we go.
….


Seperti biasa, saya, entah kenapa senang sekali mengamati keadaan sekitar. Dalam kemacetan kala itu, saya tidak sengaja melihat seorang penjaja tahu sumedang sedang menjajakan dagangannya ditengah jalan saat matahari sedang terik-teriknya. Kulitnya hitam kumal, pertanda dari betapa lamanya ia berada dibawah terik matahari untuk berjualan yang hasilnya tidak seberapa itu.

Kemacetan berkurang, angkot yang saya tumpangi kemudian bisa melaju kembali. Sampai kemudian berhenti kembali di sebuah lampu merah. Tanpa sengaja mata saya tertuju pada seorang wanita yang memiliki kekurangan pada tubuhnya. Ia berjalan menggunakan kedua tangan, karena ia (maaf) tidak memiliki…kaki. Namun ada satu hal yang membuat saya terkejut, karena ia dengan kekurangannya itu masih bisa menjajakan koran, dengan senyum yang menempel kala itu.

Angkot yang saya tumpangi kemudian sampai di gerbang kampus. Dari kejauhan saya lihat ada seorang bapak-bapak tua berkacamata tebal sedang berdiri di samping sepeda tua yang dipasangi bertuliskan “susu kedelai”.  Wajahnya tua, namun teduh. Sepertinya sedang sabar menunggu pembeli.

Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat akan saya, dan banyak orang lainnya. Berlomba menjadi kaya, menjadi sukses, menjadi terkenal, menjadi apapun yang diinginkan. Dalam hati diam-diam saya….bersyukur.


Iya, bersyukur.


Sesuatu yang tampaknya gampang sekali dilakukan, namun dalam prakteknya tidak jarang pula gagal.

Sesuatu yang seringkali diingat hanya sebagai teori, namun dilupakan begitu melihat keatas, ke tempat banyak sekali orang yang “lebih baik”.


Mungkin sampai disini ocehan saya terdengar seperti seorang bijak (atau sok bijak) yang mengingatkan orang lain untuk bersyukur, padahal aslinya saya malah berusaha mengingatkan diri sendiri betapa diluar sana banyak sekali orang kesulitan mencari uang demi sesuap nasi, saat saya dengan gampangnya menghabiskan uang demi sebuah lipstick.

Saya sering sekali merengek supaya diijinkan membawa mobil sendiri, merengek untuk beli ini, beli itu. Saya juga kadang sering iri melihat banyak sekali orang diluar sana yang bisa naik mobil ber-ac tanpa perlu panas-panasan lagi, banyak sekali orang kaya yang dengan gampangnya beli ini itu, dengan gampangnya membeli semua dengan kekayaan yang mereka miliki.

Sampai kemudian saya sadar, bahwa kekayaan tidak melulu diukur dari mobil dan uang, karena kadang kekayaan itu diukur dari keikhlasan.

Ikhlas memberi 4000 rupiah kepada tiap sopir angkot, misalnya. J







Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 komentar:

Posting Komentar