Hai. Nama gue Anastasia Margaretha Eka
Putri, gue biasa dipanggil Etha. Atau Bogel. Atau Bonsai. Atau
Hindun. Atau yang lain-lain lagi. Umur gue 22 tahun. Dan gue seorang
perempuan.
Gue perempuan. Dan kali ini gue mau
nulis sesuatu yang berhubungan dengan perempuan, juga stigma yang
melekat dari kata perempuan
itu sendiri. Gue nulis ini karena capek juga dengerin orang-orang
yang selalu ngomong “perempuan tuh harusnya begini,
perempuan tuh harusnya begitu...”
Gue perempuan. Gue ngga pinter masak
(iya, satu-satunya bahan yang paling gue jago masaknya tuh cuma
jamur. Diapain aja deh, pokoknya jamur). Gue cuma bisa jahit kancing
baju sama benerin resleting yang ngadat. Gue lebih milih nulis di
blog daripada ngaduk adonan kue. Gue lebih milih ke rak novel science
fiction daripada ke rak buku resep masakan. Gue lebih milih baca
novel tebel daripada nail art di salon. Tapi apakah nilai “perempuan”
dari diri gue berkurang?
Ibu Secilia Hety.
Nyokap gue. Nyokap gue bukan orang yang pinter nawar barang di pasar.
Nyokap gue ngga jago masang-masangin baju satu dengan baju lainnya.
Nyokap gue jarang pakai makeup ataupun skincare (yang akhirnya bikin
gue heran karena wajah nyokap tetep cakep-cakep aja). Nyokap gue
seorang ibu rumah tangga yang dulunya pernah jadi wanita karir.
Nyokap gue, kalo boleh milih, sebenernya lebih milih jadi wanita
karir daripada jadi ibu rumah tangga. Bukan, bukan karena nyokap gue
ngga suka di rumah, tapi nyokap gue pengen jadi mandiri dan punya
banyak relasi. Terus, apakah nilai “perempuan” dari diri
nyokap gue berkurang?
Sebut aja Adinda.
Temen gue. Adinda ini lebih tua dari gue dan (sebut aja) udah jadi
wanita karir, dan lebih mementingkan karir daripada cari pacar.
Satu-satunya hal yang ada di pikiran temen gue ini ya cuma kerja,
karir, duit banyak, dan hepi. Dia salah satu orang yang menganggap
uang adalah sumber kebahagiaan. Menikah? “Ngga deh, nikah tuh
salah satu pintu gerbang menuju masalah finansial”, katanya.
Punya anak? “Ngga deh, gue ngga mau ngelahirin seorang anak di
dunia yang udah serba susah dan perang kayak gini.” katanya.
Salah? Gue rasa sih ngga ya. Sumber kebahagiaan orang, cara hidup
orang, perspektif hidup orang, akan selalu berbeda. Hidup mereka,
mereka yang jalanin, and who are we to judge? Dan apakah nilai
“perempuan” dari Adinda ini berkurang?
Sebut aja Tika.
Sepupu gue. Tika ini nikah muda, udah punya satu anak. Dia tetep
bekerja sebagai tenaga medis di sebuah puskesmas di ibukota. Tika
tiap hari nitipin anaknya ke daycare, dan nitipin pekerjaan rumah ke
seorang embak buat bantu-bantu. Tiap hari, hidup Tika ribet
banget mulai masak, ngurusin anak, berangkat kerja, dan lain-lainnya.
Sorenya, Tika udah ada di rumah sambil main bareng anak, dan kumpul
bareng keluarga. Kadang dalam beberapa periode, Tika akan
menghabiskan waktu bersama suami, atau teman-teman hanya untuk
melepas penat, nongkrong sambil ngebir tipis-tipis. Lalu, apakah
nilai “perempuan” dari Tika ini berkurang?
Udah mayan jelas
kan penjelasan gue? Gue gatel banget rasanya tiap ada orang ngomong
“perempuan tuh kodratnya masak, macak, manak..” atau
“perempuan tuh harusnya di rumah, ngga perlu sekolah
tinggi-tinggi toh ujungnya di dapur..” atau “perempuan tuh
harusnya menikah, punya anak, ngurus anak, ngga usah keluyuran.”.
Tiap kali gue denger orang bilang begitu, entah kenapa gue merasa ada
beban tersendiri untuk jadi perempuan. Perempuan dengan stigma yang
ditanamkan kebanyakan oleh.......perempuan lainnya.
Entah, gue sering
denger atau liat perempuan ngomong “dandan bisa, masak bisa,
kurang apa gue?” yang pada akhirnya membuat perempuan lain
menjadi.....down. Down karena mereka berbeda. Down karena mereka
memilih jalan yang berbeda untuk menjadi “perempuan”.
Dari contoh yang
gue kasih tadi, gue rasa ngga ada nilai “perempuan” yang
berkurang dari mereka. Mau menikah atau ngga, mau punya anak atau
ngga, mau jadi wanita karir atau ibu rumah tangga, mereka tetep
perempuan. Perempuan dengan segala pikiran dan pilihannya, dan ngga
ada yang salah dengan hal itu.
So please
girls.....jangan bikin perempuan lain down dengan apa yang kalian
anggap sebagai sebuah “nilai perempuan” itu, karena
ya....perempuan yang mana dulu yang kalian maksud? Berjuta perempuan
diluar sana dengan pikiran dan pilihan yang berbeda.
Omongan gue barusan
juga berlaku ke semua orang yang suka berisik dengan “kodrat
perempuan”.
Sincerely,
Etha, belom
ngeringin rambut.