Harta, Tahta, Margaretha

  • Hello!
  • Twitter
  • Ask.fm
  • Instagram
Home Archive for 2021

Entah karena lagi PMS, atau lagi mellow, atau emang lagi capek aja abis kumpul banyak orang buat ngerayain Natal, malam ini, saya bener-bener merasa kehabisan energi. Saya coba nulis blog, siapa tau, ya.. siapa tau.. bisa bikin isi kepala saya jadi lebih runut, ngga njelimet lagi.



Malam ini, harusnya saya lagi sumringah, ya. Lagi Natal, sukacita harusnya ada di mana-mana. Tapi ngga tau kenapa, ternyata ngga ada bedanya buat saya. Saya merasa biasa-biasa aja, justru energi saya habis, padahal sebenernya saya juga ngga banyak kegiatan.


…


Tahun ini, untuk pertama kalinya, saya bener-bener tau artinya sepi. Ngga ada tempat saya cerita ketika saya baru potong poni pakai gunting bekas indomie, ngga ada yang saya cari ketika saya lagi senang-senangnya karena abis makan enak, ngga ada yang saya cari ketika saya kesel abis ketemu klien jutek. Temen saya ngga sedikit, tapi ternyata saya ngga bisa untuk harus catch up dengan mereka. Energi saya ngga sebanyak itu, ternyata.


…


Tahun ini, untuk pertama kalinya, saya hapus beberapa sosial media yang melekat di benak saya. Instagram, Tinder, Bumble, Line….karena ternyata, mereka bikin saya makin kelelahan. Karena mereka bikin saya terus bandingin diri saya dengan orang lain. Karena mereka selalu bikin saya insecure sama diri sendiri. Karena mereka selalu bikin saya merasa kurang. Karena mereka ngga mengijinkan saya menjadi tidak sempurna. Karena mereka ngga mengijinkan perempuan memiliki kulit wajah berjerawat, betis yang ngga mulus.. 


…


Tahun ini, untuk pertama kalinya, saya merasa capek banget hidup. Kadang saya ngga pengen bangun, kadang saya ngga pengen ketemu orang, kadang saya ngga pengen ngobrol, kadang saya ngga pengen senyumin orang yang saya ngga kenal. Kadang saya ngga pengen ada orang nanyain saya baik-baik aja atau engga, karena saya tau, saya bakal nangis sekenceng-kencengnya.


…


Kadang, saya pengen ngilang sebentar. Saya pengen ngilang, sampe saya bener-bener merasa siap untuk kembali, membawa wajah yang banyak orang kenal, yang tawanya terdengar dari kejauhan, yang suara renyahnya terdengar menyenangkan, yang sapaannya membuat orang merasa hangat.


…


Lucu ya, efek patah hati bertubi yang menumpuk begitu lama. Saya takut ketemu orang baru, saya susah bahkan untuk senyum aja. Saya lupa caranya selfie, saya lupa gimana rasanya diajak makan malam. Saya bahkan memilih ngerjain tugas kuliah saya yang hectic, dibanding harus diam dan membiarkan isi kepala kosong, lari, dan kembali mengingatkan kalau saya punya luka.


…


“HAH? INSTAGRAM KAMU KEMANA???”


…


Untuk orang yang sering sekali upload konten dating app, ketawa-tiwi, pamer selfie…. Ya… saya pengen aja ngilang sebentar. 



…and I think it’s okay to disappear until you feel like ‘you’ again. 😄



Anyway, tulisan kali ini ditemani Holocene by Bon Iver. Untuk yang lagi merasa ngga baik-baik aja, boleh didenger. My go-to song everytime anxiety kicks.

Biasa hidup dengan penuh candaan, seorang perempuan berusia 26 tahun tampak sedang menertawakan hidup yang ia jalani.


Menertawakan rasa sedihnya, menertawakan sakit hatinya, menertawakan rasa kecewanya.


Berharap dengan tawa itu, membuat rasa sakitnya sedikit terkaburkan.


Ia terlalu banyak tertawa, kadang hingga mengeluarkan air mata. Tampak bahagia, tampak tidak pernah murung, tampak selalu ceria.


Orang bilang, she's a social's butterfly. She's so bubbly, she's so witty. Tiap kali rasa sedih mampir, semua orang menanggapinya dengan..."jangan sedih."


And she hopes it's that easy. 


...and she hugged herself, very tight.


....


Terbiasa tertawa, menertawakan apa saja, membuat perempuan itu lupa..


...kalau ia juga bisa merasakan sakit. Kalau apapun yang ia rasakan itu nyata adanya. Kalau ia tidak perlu mengaburkannya dengan candaan. Kalau tidak apa-apa untuk menangis. Kalau tidak apa-apa untuk kecewa, untuk sakit hati, untuk lelah, untuk menyerah.


....


Perempuan itu memiliki ego setinggi langit. Tidak mau menangisi diri sendiri. Tidak mau mengasihani diri sendiri. Ia merasa paling kuat, kadang bahkan ia merasa tidak bisa tersakiti. 


....

Namun perempuan itu sering menangis. Menangisi anjing yang mati. Menangisi kawannya yang patah hati. Menangisi kucing yang tertabrak mobil. Menangisi perlakuan orang lain. Kadang ia lupa, bahwa ia juga punya kehidupannya sendiri. Bahwa kadang, ia juga sama kurang beruntungnya. Bahwa kadang, ia yang seharusnya ditangisi.


....


Malam itu, untuk pertama kalinya, ia menangis. Menangisi dirinya sendiri.

 Saya punya keloid, di lutut sebelah kiri. Bekas terjatuh dari sepeda, belasan tahun lalu. Yang saya ingat, waktu itu, saya engga nangis. Entah karena masih ada sisa adrenalin, entah emang saya terlalu bandel kala itu. Bapak saya marah, kaki anak perempuannya tidak mulus, seperti gambaran cantik pada umumnya.


Saya punya bekas luka yang menggelap, di punggung tangan saya. Bekas kecelakaan, tertabrak mobil, belasan tahun lalu. Yang kemudian membuat saya trauma untuk menyebrang jalan sendiri. Yang sampai saat ini membuat saya harus menggandeng tangan orang lain hanya untuk menyebrang jalan raya.


…


Siang itu, saya ngga sengaja nemuin foto lama…tujuh tahun lalu. Ngga ada pipi chubby, yang ada mata  sayu. Rambut saya bondol, tapi untungnya senyumnya ngga berubah. Waktu itu, saya lagi sakit, tapi belom tau sakit apa. Napasnya susah, demam tiap hari. Banyak yang bilang saya pake narkoba, soalnya kurus banget. Banyak yang bilang penyakitan, ya kan emang lagi sakit.

…

…

 

Ternyata saya kena TBC. Ada cairan di dalam paru-paru saya, yang bikin saya susah napas. Kudu minum obat tiap hari, kudu ini, kudu itu. Mungkin buat beberapa orang, biasa aja..

 

…

Tujuh tahun kemudian, hari ini, saya iseng mengunggah foto lama saya, how was me when the shit happened. Kurus kering, pipi cowong, mata sayu.

 

“Hah? Orang Somalia ya? Kan negara kelaparan tuh..”

“HAAAH? Bagusan sekarang, di foto itu kamu kayak orang penyakitan..”


…


After all this time, it still hurts.


…


Setelah saya pikir bakal siap dengar omongan orang, setelah saya pikir bakal siap dengar orang lain mengomentari apapun yang mereka ngga ngerti, setelah saya pikir saya bakal ngga peduli kalau ada yang berbicara tidak sepatutnya.. ternyata saya masih sakit hati.


…


“they’re not walking in the same shoes with you. Ngga ngerasain apa yang kamu rasain, ngga ngerti rasanya jadi kamu waktu itu..”


But still, it hurts.

 

…dan akhirnya bikin saya nanya ke diri sendiri, am I butthurt?

 

Padahal setelah dilihat-lihat lagi, somehow.. those scars.. reminds me.. that I’ve been through a lot. Those scars, build me being me today. Kadang, bekas-bekas luka itu bikin saya merasa keren. Yep, I’ve been through those shits. I’ve been through…a lot.

 

…

 

And yep, you’re not butthurt. 


"When it hurts you, then it hurts you." 


Mau dipersiapkan seperti apapun, untuk sesakit apapun, sakit, ya sakit aja. Ngga masalah kok kalau memang sedih karena omongan orang, ngga masalah juga kalo ternyata harus nangis karena sakit hati.

 

…

Dan akhirnya saya mutusin takedown foto lama itu, because I choose my happiness and sanity, and won’t let people downgrading my value. Iya, segitu cintanya saya sama diri sendiri.  

 

 suatu sore, di sebuah coffee shop..


“mmmmm aku mau caramel macchiato. pake soya milk ya. sama extra whipped cream, terus caramel saucenya super banyak!” kata seorang anak perempuan, tanpa ragu, memesan minuman kesukaannya.


kemudian disahut dengan..

“you know exactly what you want, ya.”


….


“makan sushi minumnya gin and tonic, emang enak?”


“kan aku pengennya begitu!”


….


“kenapa lanjut sekolah?”


“mmmm.. simply because I want to?”



….



Anak perempuan itu hidup bertahun-tahun dengan mengetahui apa yang ia inginkan, apa yang ia mau, apa yang ingin ia raih. Ia hidup bermodalkan keinginannya, jika ia tidak ingin, mau dipaksa seperti apapun, tidak akan ia lakukan. Sebaliknya, jika keinginannya sudah bulat, mau dicegah seperti apapun, ia tidak akan peduli.


….



Anak perempuan itu, duduk sendirian, berhadapan dengan komputer jinjingnya, mencoba menulis sesuatu..



Kosong. Layarnya. Matanya. Pikirannya, melayang entah ke mana.


….


“What I really do want in live?”

“I don’t know..”


….


Back then, years ago..



“What do you see in yourself in 5 years?”

“Oh. Punya karir yg oke, sekolah lagi, menikah, punya anak, punya sepatu yang banyak, pokoknya seneng-seneng!”


….


Bahkan saat ini, sepatu baru pun tidak lagi membuat anak perempuan itu sumringah. Anak perempuan itu, kehilangan arah. Menjadi angkuh, menjadi tinggi hati. Anak perempuan itu, merasa sedang menabur apa yang ia tanam. Anak perempuan itu, memutuskan untuk menjadi semakin sulit didekati, semakin menutup diri. 



Anak perempuan itu, tidak lagi tersenyum ramah tiap kali dipanggil. Tidak lagi tersipu ketika dipuji. Anak perempuan itu, tidak tau harus menjadi apa. Tidak tau harus bagaimana. Anak perempuan itu, kehilangan arah. Tidak tau apa yang diinginkannya.



Anak perempuan itu, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.



Dan anak perempuan itu, aku.


 "loving him is like driving a new Maserati down a dead end street,

faster than the wind, passionate as a sin, ending so suddenly"


....

suatu hari, on Tinder..


"knock knock"

"salam kenal ya.."


....


Dengan tanggapan seperti itu, biasanya bikin saya ilfeel. Well, it's Tinder afterall, bebas milih yang kita mau, kan?


Benar saja, dengan foto yang tidak keliatan wajahnya seperti apa, dengan nama yang ternyata bukan nama aslinya, dengan tanggapan knock-knock joke saya yang tidak bersambut......saya lupa balas pesannya.


Sampai suatu ketika, saya putuskan untuk muncul kembali, mengulang percakapan kembali, and turns out, yes, it was like driving a new Maserati, down a dead street, walaupun saya ngga pernah nyetir Maserati, tapi saya tau, sekencang apa itu. 


....


dari yang awalnya hanya...


"makan lu, mati ntar."

"aku ga bisa tidur nih, padahal udah baca jurnal.."

"baca jurnal bahasa Cina coba"

"ingetin aku dong, kerjain tugasnya sampe jam 9 aja."

"Etha, udah jam 9. tidur.."


kemudian berubah menjadi...


"besok aku jemput ya."

"aku udah swab nih, see you soon honey."


....and too much internal jokes. The laugh we share together, the love we thought will never end. 


Well, mungkin waktu itu menjadi momen terbaik bagi saya. Kalo ternyata harus patah hati lagi, gapapa deh, saya hepi banget waktu itu. Sikap salah tingkahnya ketika saya tatap, wajah nervousnya ketika bertemu orang tua saya, lengan lebamnya setelah saya gigit, suara seraknya setiap pagi saat saya bangunkan, wajah manyunnya ketika melihat saya berpakaian terbuka...jadi penyemangat saya untuk maju, untuk tidak menyerah, untuk percaya bahwa ketika tidak berekspektasi apapun, justru saat itulah...miracle happens.


Yaiyalah, berharap apa sama orang yang kalo diajakin knock knock joke jawabannya salam kenal?


Kalo emang saya sekarang harus patah hati lagi, gapapa deh, seengganya saya pernah se-happy itu. And yes, I'd still swipe right on you. You know I pray for your happiness like I pray for mine. :))

“Dari beberapa kali aku kenal perempuan, menurutku kamu yang paling gampang untuk didekati.”

 

Beberapa bulan berlalu, kalimat tersebut ternyata masih membekas. Tidak ada rasa ingin mendebat, pun mencari pembenaran. Hanya rasa bingung; should I take it as a compliment or an insult?

 

Well, karena pada dasarnya saya adalah orang yang bitter, sakit hati menjadi hal pertama yang saya terima untuk saya rasakan. Alih-alih berpikir panjang, saya justru menangis. Seketika bayangan saya selama ini yang menjadi friendly and bubbly langsung runtuh. Saya merasa….rendah. Kata orang, saya terlalu ‘gampang’.  Saya gampang dekat dengan orang baru, saya gampang tertawa dengan lingkungan baru, saya gampang menyatakan perasaan.

….

 

Beberapa minggu lalu, saya mendapat sebuah direct message dari sebuah akun tak dikenal berisikan penilaian orang tersebut terhadap saya. Saya yang dianggapnya hanya memilih pria bermobil untuk dijadikan teman. Saya yang dianggapnya hanya memilih pria berduit untuk dijadikan pasangan.

“Banyak yang lebih cantik tapi engga begitu..”

Saya? Jangan ditanya. Setelah membaca pesan itu, mata saya sembab seharian. Ternyata, walaupun hidup saya isinya hanya joget tiktok, dangdutan, dan ketawa bareng temen-temen, masih aja ada yang ngga suka. Dan lagi-lagi, saya merasa rendah; karena ngga seharusnya saya punya standar dalam memilih pasangan.

 

….

 

“Aku tuh dramatis, tau. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit girang. Dahlah gitu aku cuma pegawai biasa, yang biasa-biasa aja. Kadang insecure..”

“Terus? Emang salahnya di mana?”

 

….

Lah, iya juga. Salahnya di mana?

 

Kalau dipikir lagi, ngga ada yang salah dengan menjadi friendly. Ngga ada yang salah juga dengan menjadi ‘gampang’. Ngga ada yang salah untuk punya standar menentukan pasangan. Ngga ada yang salah juga jadi pegawai yang biasa-biasa aja…..because it makes me being me. That’s how I appreciating myself. That’s my value. It makes me being the whole me. Why keep questioning?

 

….

 

...dan untuk urusan standar pasangan, emang cewek ngga cakep ngga boleh punya standar?

 

 

Hidup 26 tahun, sudah banyak emosi pernah saya rasakan. Bagaimana rasanya jatuh cinta, bagaimana rasanya hangat ketika orang lain mengingat hal kecil kesukaan saya, bagaimana rasanya hangat sebuah pelukan….dan juga tangis perpisahan. Saya pernah merasakan sedih berkepanjangan, juga tangis di balik ribuan tawa lepas yang saya bagikan. Banyak kecewa, banyak tawa, banyak air mata, banyak harapan, banyak emosi lainnya yang pernah saya rasakan… yang kemudian membuat saya lelah, dan memutuskan untuk melindungi diri.


Saya sempat beberapa kali lelah untuk merasakan kecewa berulang kali, jatuh cinta lagi, kecewa lagi, jatuh cinta lagi, begitu terus…yang kemudian membuat saya merasa saya perlu untuk menahan semua emosi. Membuatnya datar, membuatnya tenggelam. Jatuh cinta seperlunya, kecewa seperlunya, karena toh, mau seperti apapun, perasaan-perasaan itu akan kembali datang, seperti sebuah siklus. Iya, menurut saya, I’m the bitterest person.



Sampai kemudian tibalah saya di momen paling menyakitkan yang pernah saya rasakan. Iya, saya hancur. And all I can do is nothing. Saat itu, saya memutuskan tidak mau melangkah maju. Saya memilih mengenang, saya memilih mengingat semuanya. Saat itu, yang saya inginkan hanyalah sebuah kedamaian di dalam diri. Bagaimana mengundang rasa tenang ke dalam hati, bagaimana menjadi lebih baik, bagaimana menjadi lebih kuat.



…yang kemudian menyadarkan saya, bahwa apapun yang akan terjadi, maka terjadi. Yang membuat saya lebih kuat, adalah bukan dengan menahan emosi, namun menghadapinya. Seperti kata orang; your feeling is valid.



Mungkin tulisan kali ini akan sedikit lebih random dan lebih sulit dimengerti, dan mungkin tulisan kali ini merupakan tulisan terjujur yang pernah saya tulis. Bahwa saya tidak akan lagi memendam perasaan, bahwa saya tidak akan lagi berpura-pura menyamarkan apa yang saya rasakan. Bahwa saya menyerah, dan merelakan jika nantinya realita harus menghancurkan apa yang saya bangun. Jika memang harus jatuh cinta sedalam-dalamnya, then be it. Jika memang harus hancur lagi, then be it. Apapun yang akan terjadi, then be it. 



Seperti kata teman lama saya, “mungkin memang kamu bitter; but you’re bittersweet.”




 Ini tentang sebuah penerimaan. Yang baik dan tidak, yang menyenangkan dan yang menyedihkan, tentang kedatangan dan kepergian, tentang yang membahagiakan dan yang menyakitkan.

 

Menerima. Menyadari bahwa tidak semuanya memang ditakdirkan untuk kita miliki, karena kadang memang hanya sekedar lewat, memberi bekas, kemudian pergi. Menerima, bahwa we all have flaws. Menerima, bahwa they’re not the one. Menerima, bahwa kesalahan bisa dilakukan siapa saja. Menerima, we all have to learn it the hard way. We have to swallow the hard pills.

 

….

 

Tidak ada yang berubah. Semua foto masih terpasang rapi. Dua sejoli, satu bermata sipit dan satu bermata lebar. Satu berparas rupawan, dan satu berpipi penuh. Tawa lebarnya, senyum merekahnya.

 

Masih ada di sana, tulisan tangan yang ada di sebuah buku; bertuliskan kata-kata penghangat hati. Masih ada di sana, tulisan tangan akan ucapan selamat ulang tahun. Masih ada di sana, tulisan tangan yang dulunya dilampirkan dalam sebuah buket bunga. Iya, semua masih ada.

 

….

 

Masih ada di sana pula, hangat yang sama seperti pertama kali bertemu. Senyum merekah yang sama ketika melihat foto-foto itu. Masih sama pula, degup jantung yang menjadi cepat ketika namanya disebut. Masih sama pula, menceritakan kejadian seolah namanya masih menghiasi notifikasi ponsel, seolah masih bertukar kabar, seolah masih menjadi bagian hidup, seolah masih menjadi ring terdekat.

 

….

 

Ini tentang menerima. Bahwa jalan sudah terpisah, bahwa hanya bisa bertitip salam lewat doa, bahwa tawa yang dulu dibagikan, kini harus disimpan sendiri.


Ini tentang menerima. Bahwa tidak apa-apa untuk tidak berusaha melangkah maju. Bahwa tidak apa-apa untuk tidak berusaha melupakan. Bahwa tidak apa-apa jika masih ingin mengenang. Bahwa tidak apa-apa untuk menjadikannya kenangan hangat. Bahwa tidak apa-apa untuk merindukan. Bahwa tidak apa-apa untuk memilih mengingat momen manis daripada harus merasakan sedih berkepanjangan.

 

….

 

Ini tentang menerima. Bahwa patah hati tidak melulu tentang usaha untuk bergerak maju, but to embrace the sadness, turn it into a personal joy.

 

I finally, have a nerve to dye my hair red. Hmm, no. I didn’t wait for the nerve to come, I just wait until I really want to do it.


….


Yes, you don’t read it wrong; I decided to delete my instagram account, and my Tinder account also. I feel…relieved. 


…


Mereka yang dekat, mereka yang kenal, pasti tau. I do what I want, I get what I want. Mau dilarang seperti apa, mau diberi tahu jeleknya seperti apa, aku akan berhenti jika aku sudah rasakan sendiri sakitnya seperti apa, susahnya seperti apa.


…


Yes, you don’t read it wrong. I dye my hair red.


I know you care,

I know it’s always been there.

But there’s trouble ahead

I can feel it.

You are just saving yourself,

when you’re hiding it.

Now I don’t lean on your shoulder anymore

But I still hope, I’m gonna stand still.



Dulu, hobi banget bandingin diri sendiri sama orang lain. Dia bisa begitu, kenapa saya ga bisa? Berlaku ke banyak perihal. Pencapaian, penghasilan, pekerjaan, percintaan, bentuk badan,bentuk wajah. Begitu terus.

 

Dulu, dulu banget, saya pernah nulis kalau semua ada porsinya. Nobody’s perfect, semua pasti ada celanya. Iya, nggak salah memang.

 

Beberapa waktu lalu, karena ga ada kegiatan, saya iseng scrolling dan baca-baca tulisan lawas di blog ini. Agak kaget juga karena ternyata saya mulai nulis sejak kisaran usia 18 tahun. Yep, hampir sepuluh tahun lalu. Tulisan labil, penuh emosi yang terlihat naik dan turun, gaya bicara yang terkesan blak-blakan, cara pikir yang impulsive, cukup membuat saya sadar;

 

I changed, a lot.

 

Dengan pola pikir yang tidak banyak berubah, dengan tawa yang masih tetap mengembang lebar, dengan lesung pipi yang akan stay di sana selamanya, well, I can proudly tell myself; I changed.

 

Awalnya saya ingin berterima kasih, pada orang-orang yang membentuk saya menjadi seperti ini. Untuk membuat saya menjadi saya yang sekarang. Untuk memberi pelajaran dan pengalaman. Untuk memberi kenangan, pahit dan manis. Untuk memberi tawa, dan air mata. Ya, people come for a reason, either they’re a blessing, or a lesson.

 

Kemudian, ada sesuatu yang mengingatkan saya;

 

They did nothing to change me. It is you who decide who you are to be.

 

Iya, kata-kata barusan bikin saya mikir lama banget. Iya, saya yang memutuskan harus seperti apa saya bertindak, ketika sedih, ketika marah, ketika sakit hati. Iya, saya yang memutuskan untuk berubah, yang ternyata, membuat saya menjadi orang yang lebih baik.

 

“It is not you versus other people, it is you….versus the old version of you.”

 

Iya, I am proudly saying, I am a better person now. Nope, I am not gonna thank people in my past, I am gonna thank me, myself, and I.

 

Kadang, saya merasa terlalu keras pada diri sendiri. Memenuhi diri dengan kegiatan yang menguras energi. Akhirnya jatuh sakit. Sakit pun, ternyata gak bikin saya kapok. Kalo dipikir-pikir lagi, kadang saya merasa nguat-nguatin diri sendiri terus, padahal ya gapapa juga kalo emang lagi capek, kalo emang lagi sedih.

Iya, saya emang suka cari penyakit. Punya pacar sabar, saya godain terus sampai ngamuk, terus putus. Hidup adem ayem yang diisi kerja dan pacaran, eh malah nambah beban, sekolah lagi. Udah gitu putus pula. Tugas banyak, kerjaan bikin capek, dijalaninnya sendirian pula.

Orang bilang, jadi cewek tuh harus mandiri. Tapi boleh ga saya skip jadi cewek mandiri sehari aja? Saya pengen nyender, ngeblog, sambil kruntelan sama anjing peliharaan saya. Iya, saya capek banget.

So, someone noticed that it’s been months since the last time I wrote here. Ya, memang.

 

By the last post, you can see a short writing. A pain. A heartbroken girl.


…but I can see someone’s trauma. A blurry eyes, full of tears. That was the last time I wrote, the last time I read my own writing. The last time I thought about something that broke me into pieces.


Banyak yang tidak menyangka bahwa saya mengambil keputusan yang (cukup) mengejutkan. Banyak yang mengira (kami) baik-baik saja. Banyak yang mengira bahwa we’re born for each other. Bukan banyak, saya pun memiliki pikiran yang sama. Sakit? Bahkan waktu itu, saya tidak bisa merasakan kaki saya menapak tanah. Ngawang, kata orang. Badan saya di sini, pikiran saya entah di mana. Keputusan ini memang bukan mendadak, tapi entah kenapa, ketika berpisah, semua persiapan rasanya tidak ada gunanya lagi. It still hurts, until now.

 

….

 

Sampai kemudian saya memutuskan untuk bertemu orang baru. Ia datang membawa tawa, mengingatkan saya bagaimana rasanya jari yang digenggam, juga bagaimana rasanya….diinginkan.

 

Menyenangkan, memang.

 

Tapi saya lupa. Saya belum sembuh. Ada luka lama yang masih terbuka lebar. Saya masih suka termenung ketika orang menanyakan kabarnya. Masih suka tidak sengaja menyebut namanya ketika bercerita. Teringat tawanya di setiap sudut kota.

 

Dan pada akhirnya, saya ada di titik, saya merasa bahwa;

 

“It was me. I was the one to blame.”

 

“Sebenernya yang salah tuh bukan dia, tapi gue…”

“Kalo gue ga ngotot, mungkin ga bakal begini kali ya?”

 

Padahal setelah dipikir-pikir lagi, mateng-mateng, dengan kepala dingin, keputusan ini udah saya pikirin bahkan hampir (atau sudah) setahun lamanya.

 

Yang kemudian tidak saya sadari, secara tidak langsung; saya menyakiti hati orang baru. Yang mengingatkan saya how my tummy blooms after a kiss. Patah hati, yang mematahkan hati. Terus menerus, tidak berhenti.

 

Iya, saya belum sembuh. Entah sampai kapan. I know, it will pass. Sebulan, dua bulan, setahun,dua tahun. Nobody knows.

 

Fase itu, ternyata belum saya lewati hingga akhir. Saya belum sembuh. Saya belum bisa sepenuhnya menerima keadaan, bahwa tidak apa-apa untuk patah hati. Tidak apa-apa jika belum sembuh. Tidak apa-apa jika memang harus berakhir.

 

Sebenarnya, bukan dia di masa lalu yang harus kamu maafkan. It is you, and yourself.

 

 

 

 

Langganan: Postingan ( Atom )

ABOUT AUTHOR

just a girl who trying to be independent.

LATEST POSTS

  • Self-love.
    Setelah saya baca-baca ulang di blog ini, dulu saya pernah nulis “sakit hati di usia 20-an” waktu saya masih eaaaarrrrlyyyy 20, kayaknya umu...
  • Grief Phase
     Kata orang, "When you're happy, you enjoy the music. But when you're sad, you understand the lyrics." Same goes to me. Ka...
  • Hangat, sekali.
    Dua hari kemarin, saya diem-diem nangis. Akhir bulan kemarin, saya juga nangis. Semua tercatat rapi di buku yang saya tulis sendiri. Saya se...
  • The Energy.
    "Girls, kalian harus bisa aktifkan feminine energy kalian kalau pengen dapat cowok dengan masculine energy." "Jangan terlalu ...
  • That One Word.
     (ceritanya lagi nengokin blog setelah ditinggalin lama banget..) Oh, hi there. Apa kabar? How's life? Mine has its ups and downs, but s...
  • A self reminder.
    Dulu, kalo saya suka sama orang, saya ngomong. Saya nggak suka sesuatu, saya ngomong. Saya nggak suka diperlakukan begini, saya ngomong. Dul...
  • It's what we called; Human Journey.
    Saat ini, saya hanya seorang perempuan biasa berusia 28 tahun. Dan setelah 28 tahun saya hidup, banyak sekali pertemuan dan perpisahan yang ...
  • Oh, I can see the pink sky (again, finally)
      “Nggak mungkin sih hidup begini banget terus hadiahnya cuma piring cantik” — me mumbling to myself after a rough day.   “Iya tau nanti sem...
  • Memaafkan Diri.
    So, someone noticed that it’s been months since the last time I wrote here. Ya, memang.   By the last post, you can see a short writing....
  • What if…?
    Pukul 01.28 dini hari. Tiba-tiba bangun, nggak bisa tidur lagi. Saya scroll-scroll TikTok, lanjut scroll-scroll blog ini. Saya nulis dari um...

Blogger templates

Instagram

Blog Archive

  • ►  2025 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2024 (7)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (8)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2021 (13)
    • ▼  Desember (1)
      • Until you feel like ‘you’ again.
    • ►  November (1)
      • Pertama kali.
    • ►  Oktober (1)
      • The scars
    • ►  September (2)
      • Anak perempuan itu..
      • Perkara Dating App.
    • ►  Agustus (1)
      • Emang salah?
    • ►  Juli (1)
      • Then, be it.
    • ►  Juni (1)
      • Menerima
    • ►  Mei (3)
      • I dye my hair red.
      • I know you care.
      • Me vs...?
    • ►  April (2)
      • Can I skip?
      • Memaafkan Diri.
  • ►  2020 (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (9)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (25)
    • ►  Desember (5)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (9)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2014 (10)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ► 2025 (1)
    • ► Mei (1)
  • ► 2024 (7)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (1)
    • ► Mei (1)
    • ► Maret (2)
    • ► Februari (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2023 (8)
    • ► Oktober (1)
    • ► Agustus (2)
    • ► Juli (2)
    • ► April (1)
    • ► Maret (2)
  • ► 2022 (1)
    • ► Januari (1)
  • ▼ 2021 (13)
    • ▼ Desember (1)
      • Until you feel like ‘you’ again.
    • ► November (1)
      • Pertama kali.
    • ► Oktober (1)
      • The scars
    • ► September (2)
      • Anak perempuan itu..
      • Perkara Dating App.
    • ► Agustus (1)
      • Emang salah?
    • ► Juli (1)
      • Then, be it.
    • ► Juni (1)
      • Menerima
    • ► Mei (3)
      • I dye my hair red.
      • I know you care.
      • Me vs...?
    • ► April (2)
      • Can I skip?
      • Memaafkan Diri.
  • ► 2020 (4)
    • ► November (2)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2019 (3)
    • ► November (1)
    • ► Juni (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2018 (5)
    • ► Desember (1)
    • ► Oktober (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2017 (9)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (1)
    • ► Juli (1)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (3)
    • ► April (1)
    • ► Februari (1)
  • ► 2016 (25)
    • ► Desember (5)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (2)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (1)
    • ► April (2)
    • ► Maret (2)
    • ► Februari (9)
    • ► Januari (2)
  • ► 2015 (9)
    • ► Desember (2)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► April (1)
    • ► Februari (2)
  • ► 2014 (10)
    • ► Desember (1)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (4)
    • ► Agustus (3)

Nama

Email *

Pesan *

Search

Like us on Facebook
Follow me on Twitter
ask me anything on askfm
  • Beranda

Menu

  • Beranda

About Me

ethaanastasia
The bubbly person behind the writings. Kinda depressed but well dressed.
Lihat profil lengkapku

About Me

ethaanastasia
The bubbly person behind the writings. Kinda depressed but well dressed.
Lihat profil lengkapku
  • Beranda

Latest Posts

  • Self-love.
    Setelah saya baca-baca ulang di blog ini, dulu saya pernah nulis “sakit hati di usia 20-an” waktu saya masih eaaaarrrrlyyyy 20, kayaknya umu...
  • Grief Phase
     Kata orang, "When you're happy, you enjoy the music. But when you're sad, you understand the lyrics." Same goes to me. Ka...
  • Hangat, sekali.
    Dua hari kemarin, saya diem-diem nangis. Akhir bulan kemarin, saya juga nangis. Semua tercatat rapi di buku yang saya tulis sendiri. Saya se...
  • The Energy.
    "Girls, kalian harus bisa aktifkan feminine energy kalian kalau pengen dapat cowok dengan masculine energy." "Jangan terlalu ...
  • That One Word.
     (ceritanya lagi nengokin blog setelah ditinggalin lama banget..) Oh, hi there. Apa kabar? How's life? Mine has its ups and downs, but s...
  • A self reminder.
    Dulu, kalo saya suka sama orang, saya ngomong. Saya nggak suka sesuatu, saya ngomong. Saya nggak suka diperlakukan begini, saya ngomong. Dul...
  • It's what we called; Human Journey.
    Saat ini, saya hanya seorang perempuan biasa berusia 28 tahun. Dan setelah 28 tahun saya hidup, banyak sekali pertemuan dan perpisahan yang ...
  • Oh, I can see the pink sky (again, finally)
      “Nggak mungkin sih hidup begini banget terus hadiahnya cuma piring cantik” — me mumbling to myself after a rough day.   “Iya tau nanti sem...
  • Memaafkan Diri.
    So, someone noticed that it’s been months since the last time I wrote here. Ya, memang.   By the last post, you can see a short writing....
  • What if…?
    Pukul 01.28 dini hari. Tiba-tiba bangun, nggak bisa tidur lagi. Saya scroll-scroll TikTok, lanjut scroll-scroll blog ini. Saya nulis dari um...

Blogroll

Flickr

About

Copyright 2014 Harta, Tahta, Margaretha.
Designed by OddThemes