Harta, Tahta, Margaretha

  • Hello!
  • Twitter
  • Ask.fm
  • Instagram
Home Archive for 2015
22 Desember, Hari Ibu kan ya?


Pagi itu, tidak ada bedanya dengan pagi-pagi lainnya. Saya bangun seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa. Ya memang tidak ada apa-apa, kan?


Yang sedikit berbeda adalah ketika saya sadar bahwa hari itu adalah tanggal 22 Desember, yang biasa diperingati sebagai Hari Ibu. Jujur, di keluarga saya tidak pernah ada acara ucap mengucap selamat, apapun itu. Hari ulang tahun, hari ibu, hari apapun itu. Seakan semuanya biasa saja.


Tidak, saya tidak akan banyak mengucap banyak terimakasih untuk ibu saya dalam postingan ini. Saya hanya ingin sedikit menceritakan bagaimana ibu saya, bagaimana beliau membentuk saya menjadi seorang seperti sekarang, bagaimana beliau bisa menjadi seorang yang kuat menghadapi kami (ayah dan anak-anaknya) yang terkadang menjengkelkan minta ampun.


Ibu saya, dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, hingga suatu saat ayah dari ibu saya (kakek saya) meninggal dunia. Saat itu ibu masih duduk di bangku kelas 2 SMA, usia labil yang sangat membutuhkan kasih sayang ayah, apalagi ibu saya sangat dekat dengan ayahnya. Ibu bercerita, saat itu, ibu rela menjual banyak perhiasan juga harus membantu nenek beternak ayam, untuk menyambung hidup, juga untuk biasa sekolah.


Beruntung, nenek saya adalah tipe orang yang disiplin, namun tidak keras. Nenek saya mendorong ibu saya untuk tetap berkuliah walaupun keadaan keuangan yang mepet. Beruntungnya lagi, ibu saya merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara dan memiliki 3 kakak laki-laki yang bisa membantu ibu saya dalam biaya berkuliah. Maka, berangkatlah ibu ke Surabaya untuk berkuliah.


Ibu bekerja sembari berkuliah. Takut membebani eyang ti, ibu bilang. Maka, mulai saat itu, ibu membiayai kuliahnya sendiri, dan berhasil lulus dengan predikat cumlaude. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bahagianya nenek saya juga ketiga kakak ibu saya, melihat ibu saya saat itu.


Ibu saya kemudian bekerja di sebuah pelabuhan di kota Surabaya. Memiliki penghasilan sendiri, ibu saya menjadi orang yang mandiri. Sampai suatu ketika, ibu saya bertemu dengan laki-laki yang kini menjadi ayah saya.


Ayah saya bukan lahir dari keluarga yang berkecukupan, ayah saya orang yang sangat sederhana. Eyang ti, saat itu menolak habis-habisan ayah saya. Namun, ibu saya tetap selalu membela laki-laki itu, hingga mereka menikah. Mereka hidup dari kamar kost satu ke kost yang lain, hingga saya lahir.
Saat itu, saya baru lahir, kata ibu saya. Ayah dan ibu saya mulai mencari rumah kontrakan. Dan karena ayah dan ibu bekerja, maka saya dititipkan pada pembantu. Hidup saya tidak pernah berkekurangan, walaupun kami hidup berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Badan saya gendut, khas anak kecil yang makannya banyak.


Dan kemudian, ibu hamil anak kedua. Juga ketika itu, ibu sakit usus buntu. Saya ingat sekali waktu itu, mbak pembantu memakaikan saya sebuah jaket merah dan berkata, “Ayo non, nengok ibu di rumah sakit, kita liat adeknya non Martha.”


Sesampainya di rumah sakit, tidak ada adik bayi yang saya idamkan. Hanya ibu yang tergeletak lemas di ranjang rumah sakit dengan beberapa selang menempel di tubuhnya. Sayup-sayup saya mendengar kata “keguguran” kala itu. Saya tidak tau apa artinya, namun yang saya tau saat itu, adik saya diambil Tuhan untuk diajak jalan-jalan.


Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi ibu saya saat itu.


Kemudian, setelah usia saya 8 tahun, ibu hamil, untuk yang ketiga kalinya. Bayinya perempuan, lahir sehat. Dan saat itu, saya dan adik saya dititipkan ke pembantu.


Suatu saat, ibu dan ayah saya membicarakan sesuatu. Dan besoknya, ibu saya tidak pergi bekerja. Besoknya lagi, tidak bekerja. Besoknya lagi, tidak bekerja lagi. Begitu seterusnya, sampai saat ini. Ya, ibu saya berhenti bekerja.


Dan sekarang, saat ibu saya ditanya tentang kenapa berhenti bekerja, sayang kan gelar sarjananya? Ibu saya selalu menjawab, “saya sebenarnya tidak rela mengorbankan gelar saya jika hanya dipakai di rumah. Tapi saya lebih tidak rela lagi jika anak-anak saya diasuh oleh orang yang tidak berpendidikan.”


Saya tersenyum. Ibu saya, walaupun seorang ibu rumah tangga biasa, namun merupakan ibu yang hebat menurut saya. Ibu saya bisa menyetir mobil kemana-mana sendiri, tidak ada mobil? Ibu saya bisa membawa motor ikut serta dengannya. Naik angkot pun ibu saya sanggup. Mengecek hasil pekerjaan tukang bangunan di rumah? Ibu saya sanggup. Mengecek hasil pekerjaan rumah adik saya? Ibu saya mahir. Membantu ayah membetulkan peralatan elektronik? Jangan khawatir, ibu saya pandai.


Ibu saya, selalu mendorong anak-anak perempuannya untuk selalu maju. Selalu mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Mendorong kami untuk selalu menjadi diri sendiri, yang mandiri, yang bisa mengerjakan apapun tanpa harus memohon manja meminta bantuan laki-laki. Ibu saya, yang terbiasa ditinggal jauh oleh ayah saya, kini menjadi figur contoh bagi kami anak-anak perempuannya, bagaimana seharusnya menjadi seorang perempuan.


Ibu saya, seorang ibu yang santai. Tengoklah bagaimana saya dan adik saya memanggil beliau. “Mamirong”, alias mami garong. Dan ibu saya santai saja menelpon saya dengan bahasa “udah makan belum bro?”. Saya dan adik saya terbiasa menyebut ibu dengan sebutan “kamu”, bukan “sampean”, atau lainnya. Ayah saya sering ngomel akan hal ini, namun ibu selalu menjawab sambil tersenyum. “ngga papa anak-anak seperti itu ke saya, toh mereka anak-anak kandung saya. Dan walaupun anak-anak saya memanggil saya seperti itu, mereka tidak pernah kehilangan sopan santun dan rasa sayang terhadap saya.”


Saya juga pernah mendengar ayah saya berbisik “ibumu orang hebat, nduk. Bisa diajak senang, bisa diajak susah bareng, bisa diajak serius, bisa diajak semuanya bersama.”



I'm so proud of you, Rong. Happy Mother's Day!
Kalau kamu bertanya siapa saya, mungkin saya akan menjawab: Saya Margaretha Eka Putri, seorang perempuan 20 tahun dengan tinggi badan 159 cm dan berat badan 53 kilogram. Atau mungkin, saya seorang mahasiswi semester lanjut jurusan Sastra Inggris. Atau mungkin, saya seorang anak pertama dari dua bersaudara. Atau mungkin, masih banyak yang lainnya.



Tapi mungkin jawaban berbeda akan kamu dapatkan kalau kamu bertanya kepada teman-teman saya. Mungkin bagi mereka, saya adalah gadis berponi dan berambut sebahu yang memiliki suara cemplang dan bikin kuping cureg :))) Atau mungkin, saya adalah seorang gadis yang keceriaannya tidak pernah luntur. Atau mungkin, saya adalah gadis yang terkesan jutek, sangat cuek dan blak-blakan terhadap apapun.



Mungkin juga berbeda kalau kamu bertanya kepada orangtua saya. Mungkin (ya, sekali lagi mungkin) bagi mereka, saya adalah anak perempuan yang sangat tidak pedulian. Mungkin, bagi mereka, saya adalah anak perempuan yang keras kepala dan pemberani. Mungkin, bagi mereka, saya adalah anak perempuan yang rela turun dari mobil dikala hujan deras hanya untuk membawa pulang seekor anak anjing yang pincang kakinya, yang tidak pernah takut untuk pulang malam sendirian, atau yang lainnya.



Lalu, untuk kamu, saya ini siapa?



Jika boleh berandai-andai, saya ingin menjadi seorang yang spesial. Yang kamu lihat apa adanya, tanpa apa-apa. Tanpa ada topeng yang membungkus wajah. Tanpa ada riasan yang memperindah paras. Tanpa senyum yang selalu mengembang menghias muka. Tanpa tawa ceria mewarnai hari.



Jika boleh berandai-andai, saya ingin menjadi orang pertama yang kamu lihat ketika membuka mata. Menjadi orang pertama yang kamu ingat di pagi hari. Menjadi orang pertama yang kamu kabari ketika ada masalah. Menjadi orang yang kamu cari untuk menjadi pendamping.



Jika boleh berandai-andai, saya ingin kamu menjadi orang yang melihat saya, tanpa apa-apa. Apa adanya. Berwajah kusut, rambut berantakan, berbadan gendut, berpipi penuh..




Jika boleh berandai-andai, saya ingin kamu, mau mendengar tangis sedih saya karena melihat seekor katak yang mati terlindas di tengah jalan. Menjadi seorang yang mau mendengar cerita saya tentang mitologi Yunani. Menjadi seorang yang mau mendengar suara saya yang kata orang tidak enak untuk didengar..



Jika boleh berandai-andai, saya ingin kamu selalu maju. Tanpa menengok ke belakang lagi.





Ya, namun sepertinya semesta tidak suka bila saya berandai-andai.

Haloooooo! Selamat Hari Blogger Nasional!


Oke, udah kelewat.


Kalo gitu, selamat Hari Sumpah Pemudaaaaa!


Sebagai seorang pemuda (well, pemudi) yang juga seorang blogger (yang sangat jarang update) aku mau ngucapin, selamat hari Rabu! Haha. Akhirnya buka blog lagi setelah 29850 tahun lamanya ini blog ga disentuh.....


Jadi gini.........


Pertama, mau ngomong aja kalo postingan kali ini tuh postingan paling jujur yang pernah kubikin, ditandai dengan kata “aku”, bukan “saya” seperti biasa. Plus bahasa yang lebih santai aja. Haha. Berasa bijak banget gitu yah abisan...


Kedua, postingan ini sebenernya pengen ikut meramaikan Hari Blogger Nasional yang jatuh tanggal 27 kemaren, tapi karena banyak urusan (baca: mager), jadi postingan ini baru aku post hari ini. Hehe.


Ngomongin Hari Blogger Nasional nih yah, buat kalian, blogger tuh siapa sih? Atau, blogger tuh apa, sih?


Buat aku sih, blogger itu simply orang yang punya blog. Udah. Gitu doang. Shallow yah anaknya...


Mungkin buat kalian, blogger itu adalah seorang Diana Rikasari dengan fashion blognya, atau beberapa orang dengan travel blognya, atau food blognya, atau ini, itu, yang lainnya, yang biasa mereka tulis dan menjadi viral.


Yes, menjadi viral.


Terus, kalo kita-kita yang baru mulai nulis di blog, dan ga terkenal, apa dong namanya?


Haha. Well, menurutku sih namanya juga tetep blogger. Tapi kadang buat orang lain beda lagi.


Menurutku, inti dari seorang blogger adalah tulisannya. Tidak penting tulisan itu bakalan viral atau ngga, dibaca atau ngga, blognya dibuka atau ngga. Yang penting itu, tulisannya. Kemauan buat menulis itu yang sebenernya paling penting, seenggaknya, menurutku.


Kadang, kita punya yang namanya pikiran-pikiran, imajinasi, dan lainnya, tapi tidak tau gimana caranya buat menyampaikan si pikiran itu. Ada orang yang bisa santai aja menyampaikan lewat omongan, nah kadang tidak sedikit juga orang yang lebih mudah menyampaikannya lewat tulisan. Salah satunya aku. Yaaaaah walaupun aku cerewet, tapi kan.......


Menurutku, ya, lagi-lagi menurutku, blog itu tidak harus memiliki konten yang “wah” banget, karena kalian bisa lihat sendiri kan, blogku isinya ga jauh-jauh dari pengalamanku aja, hehe. Buatku, sekali lagi, yang utama itu adalah niat menulisnya. Menulis itu butuh mood, fyi aja. Juga kadang butuh waktu. Butuh secangkir kopi, juga kadang butuh tambatan hati. (itu elu, Tha). Haha, jadi, menulis itu tidak gampang, sodara-sodara. Kadang ada mood, tapi tidak ada waktu. Kadang ada waktu, tapi mood dan ide buat nulis kosong banget. Gitu deh. Tapi karena dasarnya aku orang yang suka cerita, jadinya ya, hmm, ide banyak, waktu ada, tapi.......mager. Haha.


Kenapa suka nulis di blog sih? Padahal tulisan kamu juga ga pernah dibaca orang banyak.


Nah. Sampe sekarang pun aku juga ngga ngerti kenapa bisa suka ngeblog kaya gini. Jawabanku biasanya: ya suka aja.


Kalo kata orang sih, biasanya apa yang dilakukan dengan tanpa alasan itu tulus yah.. Ya kayak ngeblog ini, atau nulis postingan ini. Simply karena pengen nulis aja, tanpa ada tujuan lain. Tanpa ada embel-embel perasaan pengen jadi viral, pengen jadi blogger terkenal.. well, kalo misal emang bisa jadi blogger terkenal, boleh juga sih. Haha. *dilindes*


Oke, sebelum tulisan ini makin ngelantur kemana-mana, lebih baik kita akhiri sampai disini. Sekali lagi, selamat Hari Blogger Nasional, selamat Hari Sumpah Pemuda, dan selamat hari Rabu, semuanya!










“Mama said, you're pretty girl,
What's in your head, it doesn't matter,
Brush your hair, fix your teeth,
What you wear, is all that matter.”

“Blonde hair, flat chest,
TV says, “Bigger is better.”,
South beach, sugar free,
Vogue says, “Thinner is better.”


Hai! Postingan blog hari ini diawali dengan alunan suara Beyonce dalam lagu Pretty Hurts. Selain easy listening, lagu ini sepertinya punya magnet tersendiri ketika aku mendengarkannya, for the first time.

Dari lagu ini, Beyonce semacam ingin memberitahu kita, perempuan bagaimana pandangan orang tentang sebuah kata, cantik. Tentang sebuah kata itu, yang bisa mengubah hidup seorang perempuan.


Pertama, ada sebuah pertanyaan besar sampai sekarang masih ada di kepalaku dan belum terjawab; cantik itu apa sih?


Kulit putih, badan tinggi dan langsing, rambut panjang yang indah, hidung mancung, pipi tirus, dan lainnya,

Atau,

Otak cerdas, kepala yang “penuh” dengan ilmu, memiliki banyak gelar akademis,

Atau mungkin,

Sebuah keramahan, kebaikan hati, kesabaran, serta bersifat religius, atau mungkin lainnya?

Entahlah. Orang bilang, cantik itu relatif.

Kemudian kenapa masih ada perempuan yang dianggap tidak cantik hanya karena parasnya tidak indah? Kenapa masih ada perempuan dianggap tidak cantik karena ia tidak memiliki bentuk badan yang (kata orang) idaman, itu?


Entahlah.


“Iya sih cantik wajahnya doang, tapi kelakuannya jelek, orangnya sombong, jadi ga cantik lagi deh.”
“Percuma pinter otaknya tapi wajahnya pas-pasan, ga cantik, percuma banget”
“Cantik sih, tapi gendut. Mana ada yang mau sama dia?”


Sekali lagi kuulangi, cantik itu apa?


Masyrakat kita menganggap bahwa cantik itu perpaduan semuanya. Wajah cantik, badan tinggi dan langsing, dan otak pintar serta cerdas. Lalu? Bagaimana nasib perempuan diluar sana dengan segala keterbatasannya? Bagaimana nasib mereka perempuan yang harus rela kehilangan rambut indahnya karena efek dari kemoterapi? Perempuan yang tidak bisa memiliki tubuh tinggi semampai karena faktor genetiknya? Apa mereka tetap cantik?

Kita, tanpa dipungkiri, memiliki pandangan bahwa cantik itu harus sempurna. Harus punya semuanya. Harus punya rambut panjang yang indah, badan tinggi semampai, dan otak yang cerdas.

Kata Beyonce, “perfection is a disease of a nation..”

Ya. Sebuah kesempurnaan yang kemudian menjadi penyakit. Perempuan yang rela melakukan apapun untuk terlihat “cantik”.


Ya, apapun.


Sedangkan kita sendiri tidak tahu pasti, cantik itu apa.


Namun bagiku, cantik bukan hanya soal paras yang indah, tubuh idaman, serta otak yang cerdas. Cantik itu, kami semua, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kami miliki. Keunikan yang kami miliki, yang berbeda satu dengan lainnya.


Untukku,


Cantik itu, bisa tertawa lepas tanpa suatu beban untuk menjaga sebuah image yang telah dibangun untuk tetap terlihat “cantik”.

Cantik itu, bisa membantu orang lain untuk menjadi lebih baik, dengan perasaan senang dan ikhlas ketika melakukannya.

Cantik itu, tak pernah takut untuk mengangkat kepala dan menatap lurus kedepan, seakan dunia itu milikmu, ya, milikmu.

Cantik itu, ketika nyaman untuk melakukan sesuatu yang kita suka, tanpa memikirkan apa kata orang lain.

Cantik itu, kamu, wahai para perempuan yang membaca ini.


:))


“To all girls that think you're fat and ugly because you're not a size zero, you are the beautiful ones, it is society who's ugly.” - Marylin Monroe






Dua tahun lalu, ketika aku menjadi seorang mahasiswa baru di sebuah kampus di kotaku, sebuah cerita dimulai..

Kamu, datang tiba-tiba. Mengirim pesan ke akun sosial mediaku, untuk meminta bertukar nomor handphone, dengan alasan, kamu adalah panitia ospek kala itu. Bodohnya, saat itu, kamu tau aku sedang tidak sendiri, dan kamu masih nekat menghubungiku. Betapa lebih bodohnya aku, yang masih saja menanggapimu, menanggapi jokesmu yang tidak lucu, namun bisa membuatku tertawa, lepas, melupakan segala pelik yang ada. Kamu, yang jika denganku slalu bertingkah manja dan menyebalkan, khas anak kecil, namun bisa menjadi seorang dewasa ketika bertemu dengan orang lain..


Semakin lama, aku dan kamu makin tidak bisa dilepaskan. Kamu, dan aku, menjadi kita. Aku, yang saat itu memiliki orang lain, rela melepaskannya hanya untuk satu hal, kamu. Orang bilang aku bodoh, orang bilang aku pasti akan menyesal, orang bilang karma akan datang, orang bilang....


Aku, menutup telingaku rapat-rapat. Aku tau, kamu, tidak lebih baik dari dia yang kutinggalkan. Aku tau, kamu, sama sekali bukan tipeku. Aku tau, kamu, juga bukan orang yang bisa membuatku luluh lantak. Aku tau, kamu, dan aku, terpisah oleh sebuah dinding tebal, yang sulit untuk diruntuhkan. Ya. Keyakinan.
Kita, terlahir di tanggal yang sama, dan bulan yang sama. Kita, berwajah mirip. Kita, juga punya karakter yang hampir sama. Kita, yang kata orang akan berjodoh, karena kita, sama.

Namun, belum sempat aku bahagia, aku kembali ingat, ada sebuah dinding tebal yang akan sangat sulit untuk diruntuhkan.

Keyakinan kita berbeda. Aku pergi ke Gereja, dan kamu sembahyang di Pura.

...

Aku tau, aku sangat tau, dinding tebal itu bukan hanya sulit untuk diruntuhkan, namun tidak mungkin untuk diruntuhkan.

Kembali, orang-orang bertanya, apakah aku tidak menyesal telah memilihmu masuk ke duniaku?

Jawabanku hanya satu, tidak.

Aku masih ingat betul, kita, saling membicarakan masa depan. Kamu, yang ingin pergi ke luar pulau untuk mencari kerja setelah lulus, dan aku, yang ingin menjadi seorang news anchor nantinya. Tak lupa, kamu, memasukkan namaku ketika kamu merancang masa depanmu sedemikian rupa. Aku ingat betul ketika kamu berkata, "Gue pengen cepet lulus, gue mau ke Makassar, kerja di pertambangan, terus gue balik kesini, dan gue nikahin lo. Buruan lulus makanya!"


Aku tersenyum lebar ketika kamu, selalu memberiku semangat dengan caramu yang menyebalkan itu. Aku tau, kamu, yang sering mabuk, tapi selalu belajar hingga tengah malam. Kalkulus bikin kram otak, katamu. Ketika kusuruh kamu untuk istirahat, kamu selalu bilang, "Kalo ga belajar gue ga bakal lulus cepet ntar! Siapa yang bakal cari duit buat nikahin lo?!"


Hei, kamu. Aku tersenyum ketika menulis ini.


Aku dan kamu, kita,  berjalan seperti layaknya "kita" yang lain. Kita juga punya seorang anak, hei, masih ingat? Ya, Yugi, kura-kura itu. Kita, yang pernah panik mencari sayur di malam hari hanya untuk memberi makan Yugi, yang saat itu tidak mau makan.


Sampai akhirnya, dinding tebal itu membuatku tersadar. Kita tidak bisa seperti ini terus. Namun aku tau, aku dengan keyakinanku, dan kamu, dengan keyakinanmu. Kita, tak bisa bersatu.

...

Kamu, jauh dari kata romantis. Kita bahkan tak pernah merayakan ulangtahun kita yang bersamaan itu. Tapi kamu, adalah seorang yang pernah berkata, "Ga usah pindah agama, kita nikah aja di Bali, atau di luar negri, atau dimana aja asal tanpa syarat keyakinan sama."

Menurutku, itu lebih dari romantis.

Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa meruntuhkan dinding tebal itu.

Aku, dan kamu, yang menjadi kita, kini tak ada lagi. Aku sendiri, dan kamu sendiri. Kita, masing-masing. Aku, yang kini selalu bersikap acuh, ketika kamu menghubungiku hanya untuk meminta bertemu. Aku, yang kini seakan tidak peduli bahwa ada rindu yang kamu pendam begitu besarnya.


Aku, hanya bisa memandangmu dari kejauhan, dan itu lebih dari cukup untukku. Aku pun tersenyum ketika melihatmu menggandeng tangan perempuan baru dalam hidupmu.


Semoga tak ada dinding tebal lagi didalam hubunganmu, kak.

...

Orang masih sering berkata, "Udah nyesel belom? Ninggalin yang baik demi yang ga lebih baik, udah tau beda agama tapi masih dijalanin, akhirnya putus sia-sia kan?"

Dan jawabku pun masih tetap sama, tidak.

Tidak pernah ada penyesalan untukku, karena menurutku, kamu, tidak buruk. Kamu, telah mengajarkanku untuk berjuang, berjuang untuk segalanya. Orang berpikir, bahwa kisahku ini sebuah kisah cinta yang menyedihkan, namun ternyata mereka semua salah. Justru aku bahagia. Terbukti dari rasa sebuah gelombang hangat yang masuk di dadaku ketika aku menulis ini.

....

Hei, segera kerjakan skripsimu! Cepatlah lulus, dan aku ingin lihat kamu sukses di masa depan!


Tulisan ini bermula ketika ada beberapa pertanyaan masuk di situs ask.fm punyaku, well, seperti biasa, anonim, alias tanpa nama. Tiap kali ada pertanyaan masuk ke ask.fm punyaku ini, entah kenapa pasti selalu deg-degan aja bawaannya, apalagi kalo si penanya ini pake fitur anonim. Bukannya nanya, biasanya si anon ini tuh ngeluarin statement menghujat, well, walaupun emang dia cuma anon yang fana, tapi tetep aja ngeselin kan?


Kok jadi curhat? Hmm, oke skip. Udah terlanjur deg-degan, ehhhh ternyata kali ini pertanyaan yang masuk malah pertanyaan "baik", hahaha. Nanya apaan sih?
Jadi, si anon ini cerita kalo dia ini baru lulus SMA, dan bingung mau melanjutkan pendidikan dengan jurusan apa. Dia tertarik di beberapa bidang, dan salah satunya Sastra Inggris. Lalu, dia banyak bertanya, bagaimana kegiatan perkuliahanku sebagai anak sastra, bagaimana prospek kerja nanti setelah lulus kuliah dan bagaimana suka dukanya jadi anak sastra, terutama Sastra Inggris sepertiku. Yaaaaaa, intinya nanyain gimana sih rasanya jadi anak sastra.


Jujur, dulunya aku sama sekali ga punya bayangan bakal jadi anak sastra seperti sekarang. Dulu ketika jaman SMA, aku emang pengen masuk kelas Bahasa, tapi apalah daya jika ayah dan ibu yang memikirkan jangka panjang ketika aku masuk kelas Bahasa, nanti mau kuliah apa? (Well, orangtua emang selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, dan kala itu jurusan ekonomi masih sangat "terpandang", dan jurusan bahasa dianggap "buangan", maka aku dianjurkan untuk masuk jurusan IPS). Sampai pada akhirnya, ketika aku menginjak kelas 3 SMA, ketika sibuk dengan segala macam ujian, tes perguruan tinggi, memilih jurusan ini itu, dan aku megikuti beberapa tes minat bakat......

Disini cerita baru mulai.....

Tanpa disangka-sangka, tes minat bakatku ini menunjukkan bahwa minat utamaku adalah Sastra. Yes, SASTRA.

Jeng jeng!

Bener-bener diluar ekspektasi. Awalnya aku sangat berminat pada psikologi dan komunikasi. Sampai suatu ketika, seorang guru BP menanyakan, mau pilih jurusan apa?

Dor! Aku ga bisa jawab, dong.

Setelah kuceritakan pada guru BP-ku ini, beliau memang menyarankan untuk mengikuti hasil dari tes bakat dan minatku ini (untuk mengambil jurusan Sastra Inggris), yaaaah walaupun awalnya aku benar-benar ga berniat masuk dunia sastra, apalagi karena, jujur, aku ga jago Bahasa Inggris, hahaha.

Dengan modal nekat, (well, aku "awalnya" berpikir bahwa Sastra Inggris itu gampang, hanya seputar gammar, listenng, writing, speaking, lalala), aku memilih jurusan Sastra Inggris ketika tes masuk PTN, dan Puji Tuhan, lolos, haha.


Tapiiiiiiiii, semua yang "awalnya" aku pikir gampang itu, ternyata ga semudah apa yang aku pikirkan. Kalo ada tertulis "don't judge a book by its cover", itu emang bener adanya. Awalnya emang mudah, tapi, makin lama, makin banyak yang susah. Dan ternyata, aku lupa memikirkan satu hal diawal aku memilih jurusan ini, aku lupa memikirkan tentang kata "sasta" dalam Sastra Inggris itu sendiri. Justru Sastra itu sendiri, yang menurutku, susah, sulit. Kamu harus bisa membedah sedalam mungkin isi sebuah puisi sebanyak 14 baris di kala Victorian Era, Elizabethan Era, dll, yang biasanya tiap era punya ciri khasnya sendiri. Kamu harus bisa membedakan arti dari grief dan sorrow yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama, duka. Kamu harus bisa membaca novel berbahasa Inggris setebal kurang lebih 300 halaman, dan menceritakannya kembali versimu sendiri. Kamu harus bisa ini itu, banyak lainnya, karena nantinya anak sastra bakalan belajar tentang psikologi, ekonomi, dan lainnya. Dan satu lagi, sastra itu berhubungan erat dengan yang namanya "budaya", which is the interesting and difficult one.


Terus, jika ada orang bertanya, "nyesel gak masuk Sastra Inggris?"

Aku bakal jawab "nope. never"

Yaaaaaa, gimanapun aku bisa jadi kaya sekarang ini ya salah satunya karena masuk sastra. Anak sastra terbiasa buat ngga "judge from the cover", ketika baca puisi, karena kadang apa yang kita baca awalnya, bakal punya meaning yang berbeda ketika kita "bedah" makin dalam. Aku juga belajar bahwa jangan meremehkan orang lain, apapun itu, well, walaupun awalnnya emang aku sempat "underesimate" tentang Sastra Inggris.


Ga kerasa banget bisa nulis sepanjang ini, padahal awalnya cuma niat jawab pertanyaan si anon di ask.fm itu hahaha,  tapi yaudahlahyaaaa sekalian sharing pengalaman, hehe.


Gimana, masih mau pilih Sastra Inggris ngga?







"Aneh lo."
"Dasar aneh."
"Galau mulu, aneh lo."
"Apaan sih, dasar aneh."
"Jangan mau sama dia deh, anaknya aneh."
Bla...bla...bla.

Jujur aja, saya sering banget denger kalimat-kalimat tadi. Kadang ditujukan untuk orang lain, gak jarang juga ditujukan untuk saya. Ya, tidak sedikit orang bilang saya aneh.
:)

Melihat cara berpikir saya yang kadang "berbeda" dengan kebanyakan orang lain, melihat cara saya yang kadang menyebalkan ketika nice-but-annoying dengan orang baru, melihat saya yang bisa tertawa terbahak-bahak terhadap lelucon yang bahkan untuk orang lain itu tidak lucu, melihat saya yang bisa memangkas pendek (bahkan sangat pendek) rambut saya, yang bisa menangis hanya karena nonton film yang hewannya tertembak mati, melihat saya yang bisa happy lagi setelah sedih yang berkepanjangan, dan tingkah laku "aneh" saya yang lain...tidak sedikit orang yang geleng-geleng kepala dan berkata: "lo aneh, tha."

Sampai suatu ketika, saya merasa bahwa saya benar-benar aneh, orang lain memandang saya aneh dan tidak sedikit pula yang mencibir saya, karena seperti kita ketahui, dipandang aneh di masyarakat kita itu hampir sama seperti kita memiliki cacat mental yang....yah begitulah.

Sempat terlintas di benak saya untuk "berubah". Seperti orang kebanyakan. Menjadi "normal". Ya, "normal" versi mereka.

Kemudian, ada seseorang berkata kepada saya, kira-kira seperti ini bunyinya:
"Omongan begitu lo denger? Asik dong dibilang aneh, unik, ngga ada yg nyamain."

Wait.

Kemudian ia melanjutkan:
"Percaya ngga, setiap orang tu aneh, karena pada dasarnya tiap manusia itu diciptakan berbeda satu dan lainnya, ngga ada yang sama."

"Ngga usah sedih dibilang aneh, itu berarti lo unik. Mereka pengen jadi lo, yang cuek, yang bisa happy terus-terusan, yang bisa pede aja walaupun rambut bondol.."

"Karena setiap orang berusaha menutupi keanehan mereka dengan berpura-pura menjadi 'normal', sedangkan lo santai aja jalanin keanehan lo itu. Banyak yang pengen jadi lo, cuma mereka semua kepentok gengsi. Udah, santai aja.."

"Lagian, ngapain harus sedih sih dibilang aneh? Selama itu ngga fake dan itu identitas diri lo, juga selama lo ngga ngerugiin orang lain, so what? Cuek aja lagi."

Kemudian aku tersenyum membaca isi pesan yang dikirimnya via bbm saat itu. Ya, benar. Kenapa harus ambil pusing? Semua orang punya keanehannya masing-masing. Semua orang pada dasarnya memang aneh, memang unik. Sudah jelas kan apa yang ia katakan? Tak perlu lagi sedih bagi kalian yang dibilang aneh, weird, dan semacamnya..

Dan ia pulalah yang berkata "lo unik tha, gua seneng."


Thankyou, kak.

Salam hangat dari gadis bondol yang kini sudah 20 tahun dan berambut sebahu.


Kamis, 9 April 2015,

Margaretha Eka Putri.
Waktu masih SD, aku selalu diberikan pemahaman bahwa orang yang paling berjasa dalam hidup kita adalah Ibu. Ibu yang melahirkan, yang menyusui, rela terbangun demi menjaga anaknya yang sakit di tengah malam, dsb dsb. Kemudian akupun memang merasa bahwa Ibu lah yang paling berharga dalam hidupku, sampai suatu ketika..

Aku, yang saat itu sedang duduk di kelas 4 SD, mengalami kecelakaan, aku ditabrak mobil ketika sedang menyebrang jalan raya. Kejadian itu terjadi di depan mata ayahku sendiri, yang saat itu akan menjemputku pulang dari sekolah.
Semua yang menyaksikan kejadian itu sudah berpikir bahwa aku akan mati, terutama jika mengingat betapa kerasnya benturan tubuhku dengan mobil itu, yang (kata orang) menyebabkan badanku terseret 5 meter lebih, dan juga bodi mobil yang penyok terkena hantaman tubuhku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasa ayahku, melihat putrinya mengalami hal buruk seperti itu.

Saat itu, aku terbangun, pusing, juga melihat luka-luka di sekujur tangan dan kakiku, juga mendengar suara ayah yang terus berdoa di dekat telingaku. Aku terbangun di rumah sakit, dengan ayah yang tidak pernah meninggalkanku, sedetikpun. Orang pertama yang mengajakku untuk berdoa bersama ketika aku sadar, orang pertama yang berkata "Ndak apa-apa nduk, yang kuat ya", juga baru kali ini aku melihat ayah menangis melihat aku yang saat itu sedang tidak berdaya.

Saat itu pula, aku menyadari satu hal. Ayahku adalah segalanya. Pahlawanku, temanku, musuhku, guruku, segalanya. Sekilas memori terputar dalam benakku, bagaimana aku dulunya digendong dipundaknya, diangkatnya tinggi-tinggi, diajaknya bermain layang-layang, diajarinya naik sepeda, semuanya. Dan akhirnya, aku mulai menyadari, betapa ayahku menyayangi aku.

Ayahku, yang terlihat tidak pernah peduli denganku, tak kusadari telah mengajariku banyak hal. Mengajariku untuk mandiri dengan ke sekolah naik angkot sendiri, mengerjakan tugas sendiri, menyiapkan segalanya sendiri. Mengajariku untuk menolong orang lain dengan mengajakku ke panti-panti asuhan, menyumbang untuk bencana alam. Mengajariku untuk kuat dengan caranya yang kadang malah membuatku jatuh, yang kini sangat kupahami, bahwa itu semua untukku, untuk kebaikanku sendiri. Ketika aku mulai dewasa, ayahku mengajarkanku untuk tidak terlalu bergantung pada lelaki dengan cara mengajariku menyetir mobil sendiri, mengganti ban bocor sendiri, kemana-mana sendiri. Ketika ayah mengajariku bahwa penampilan itu sungguh penting untuk seorang wanita dengan cara yang juga kadang menyakitkan, yaitu mengejek penampilanku yang kadang memang tidak fashionable. Tapi sekali lagi, kini aku sadar, itu semua untukku, untuk kebaikanku.

Aku memang tidak pernah melihat ayah membelaku, memperhatikanku, bagaimana perkembanganku, tetapi aku sering mendengar ayah menanyakan kabarku secara diam-diam kepada ibu. Aku tahu, ayah pasti tidak ingin aku merasa dimanja dengan perhatian ayah. Aku tahu, ayah ingin aku tumbuh menjadi perempuan yang kuat, dalam segala bidangnya. Aku tahu, ayah hanya ingin yang terbaik..
Ayah, memang bukan orang seperti ibu yang selalu berada disampingku untuk memberiku semangat dan petuah-petuahnya , tapi ayahlah yang selalu berada di belakangku, yang siap menangkap dan menopangku ketika aku terjatuh.

Selamat ulangtahun yang terlambat, ayah.


11 Februari 2015,
Dari anak perempuanmu yang tidak seperti anak perempuan,
Margaretha Eka.
Ah, finally bisa ngeblog lagi walaupun numpang laptop orang, hahaha. Well, how's your day? Great?
...
My life is also good until I see something different. Saya cuma ingin cerita, tentang apa yang saya rasakan selama ini, yang mungkin baru mampu saya ceritakan saat ini.
...
Dimulai dari masa awal kuliah saya di semester 3. Semuanya berjalan baik, teman saya bertambah, saya ikut beberapa organisasi, saya sudah jarang sakit, menemukan beberapa "orang" baru yang mengisi hati saya juga.. Semua terlihat membaik daripada sebelumnya, dimana saya merasa sangat terpuruk sebagai seseorang. Saya sudah mulai bisa memperbaiki hubungan dengan teman-teman, mulai bangkit mengejar nilai yang jatuh, memiliki semangat untuk "bangkit" lagi..
.
Jika kamu berpikir bahwa hidup saya fine-fine saja, kamu salah. Malah saya pikir, saat ini saya sedang merasa di titik terendah dalam hidup saya. Menyadari bahwa banyak orang "bermuka dua", melamar kerja tapi tidak diterima (dan malah direndahkan, bahkan), orangtua yang meremehkan kemampuan saya, nilai-nilai kuliah yang turun yang saya tidak tau kenapa bisa begitu (yang saya rasa merupakan secuil dari ketidakadilan di kampus), sakit hati ketika tau orang yang saya sayang ternyata hanya main-main, banyak orang yang hanya memanfaatkan saya, dll, dll.
.
Belum lagi ketika saya memiliki niat untuk berubah menjadi lebih baik, dan teman-teman saya hanya bilang "alah paling juga cuma wacana..". Hey, don't you know, friends are made to support each others?
.
Dan kemudian, ketika sudah penat di kampus, yang saya inginkan hanya pulang. Ke rumah. Ke keluarga saya, yang saya pikir akan menerima saya apapun yang terjadi. Ternyata yang saya harapkan itu kosong. Zonk lah kalo kata anak jaman sekarang. Ibu yang saya harapkan bisa menguatkan saya ketika saya jatuh, malah membandingkan saya dengan orang lain, which is not better than me. Hanya karena dia lebih kalem dan lebih pendiam, bagi Ibu, dia merupakan yang terbaik, dan saya yang buruk. Kemudian Ayah, yang saya harap dapat memberi pandangan hidup dan kekuatan, malah meremehkan saya ketika saya jatuh.
.
Saya bisa terima jika orang yang meremehkan saya itu orang lain, karena itu bisa membuat saya lebih kuat. Tapi bagaimana jika orang itu adalah keluarga saya sendiri? Sedih, terntunya.
.
Bagaimanapun, saya harus tetap menjalani hidup, bukan? Bagaimanapun, mereka tetap orangtua dan teman-teman saya, bukan?
Maaf, sudah banyak menyita waktu kamu hanya untuk membaca cerita (curhatan lebih tepatnya) saya, yang ngga ada bagus-bagusnya ini.

"So what? You failed your finals. So what? You gained some weight. So what? You're single again. So what? Can't get a job. So what? What now? You live. You try again. That's what."

Malang, 3 Februari 2015, Margaretha Eka.

Langganan: Postingan ( Atom )

ABOUT AUTHOR

just a girl who trying to be independent.

LATEST POSTS

  • Self-love.
    Setelah saya baca-baca ulang di blog ini, dulu saya pernah nulis “sakit hati di usia 20-an” waktu saya masih eaaaarrrrlyyyy 20, kayaknya umu...
  • Grief Phase
     Kata orang, "When you're happy, you enjoy the music. But when you're sad, you understand the lyrics." Same goes to me. Ka...
  • Hangat, sekali.
    Dua hari kemarin, saya diem-diem nangis. Akhir bulan kemarin, saya juga nangis. Semua tercatat rapi di buku yang saya tulis sendiri. Saya se...
  • The Energy.
    "Girls, kalian harus bisa aktifkan feminine energy kalian kalau pengen dapat cowok dengan masculine energy." "Jangan terlalu ...
  • That One Word.
     (ceritanya lagi nengokin blog setelah ditinggalin lama banget..) Oh, hi there. Apa kabar? How's life? Mine has its ups and downs, but s...
  • A self reminder.
    Dulu, kalo saya suka sama orang, saya ngomong. Saya nggak suka sesuatu, saya ngomong. Saya nggak suka diperlakukan begini, saya ngomong. Dul...
  • It's what we called; Human Journey.
    Saat ini, saya hanya seorang perempuan biasa berusia 28 tahun. Dan setelah 28 tahun saya hidup, banyak sekali pertemuan dan perpisahan yang ...
  • Oh, I can see the pink sky (again, finally)
      “Nggak mungkin sih hidup begini banget terus hadiahnya cuma piring cantik” — me mumbling to myself after a rough day.   “Iya tau nanti sem...
  • Memaafkan Diri.
    So, someone noticed that it’s been months since the last time I wrote here. Ya, memang.   By the last post, you can see a short writing....
  • What if…?
    Pukul 01.28 dini hari. Tiba-tiba bangun, nggak bisa tidur lagi. Saya scroll-scroll TikTok, lanjut scroll-scroll blog ini. Saya nulis dari um...

Blogger templates

Instagram

Blog Archive

  • ►  2025 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2024 (7)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (8)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (13)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
  • ►  2020 (4)
    • ►  November (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (9)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (25)
    • ►  Desember (5)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (9)
    • ►  Januari (2)
  • ▼  2015 (9)
    • ▼  Desember (2)
      • Silamat Hawi Ibu, Mamirong!
      • Jika Boleh Berandai-Andai...
    • ►  Oktober (2)
      • Hello, Wednesday!
      • Cantik Itu, Apa?
    • ►  September (1)
      • Dinding Tebal Itu...
    • ►  Agustus (1)
      • Kata Siapa Jadi Anak Sastra Itu Gampang?
    • ►  April (1)
      • I'm A Weirdo, So What?
    • ►  Februari (2)
      • Surat Cintaku, Untuk Ayah.
      • Life is Unfair, Sometimes.
  • ►  2014 (10)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (3)
Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ► 2025 (1)
    • ► Mei (1)
  • ► 2024 (7)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (1)
    • ► Mei (1)
    • ► Maret (2)
    • ► Februari (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2023 (8)
    • ► Oktober (1)
    • ► Agustus (2)
    • ► Juli (2)
    • ► April (1)
    • ► Maret (2)
  • ► 2022 (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2021 (13)
    • ► Desember (1)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (2)
    • ► Agustus (1)
    • ► Juli (1)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (3)
    • ► April (2)
  • ► 2020 (4)
    • ► November (2)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2019 (3)
    • ► November (1)
    • ► Juni (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2018 (5)
    • ► Desember (1)
    • ► Oktober (1)
    • ► Agustus (1)
    • ► Maret (1)
    • ► Januari (1)
  • ► 2017 (9)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (1)
    • ► Juli (1)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (3)
    • ► April (1)
    • ► Februari (1)
  • ► 2016 (25)
    • ► Desember (5)
    • ► September (1)
    • ► Agustus (2)
    • ► Juni (1)
    • ► Mei (1)
    • ► April (2)
    • ► Maret (2)
    • ► Februari (9)
    • ► Januari (2)
  • ▼ 2015 (9)
    • ▼ Desember (2)
      • Silamat Hawi Ibu, Mamirong!
      • Jika Boleh Berandai-Andai...
    • ► Oktober (2)
      • Hello, Wednesday!
      • Cantik Itu, Apa?
    • ► September (1)
      • Dinding Tebal Itu...
    • ► Agustus (1)
      • Kata Siapa Jadi Anak Sastra Itu Gampang?
    • ► April (1)
      • I'm A Weirdo, So What?
    • ► Februari (2)
      • Surat Cintaku, Untuk Ayah.
      • Life is Unfair, Sometimes.
  • ► 2014 (10)
    • ► Desember (1)
    • ► November (1)
    • ► Oktober (1)
    • ► September (4)
    • ► Agustus (3)

Nama

Email *

Pesan *

Search

Like us on Facebook
Follow me on Twitter
ask me anything on askfm
  • Beranda

Menu

  • Beranda

About Me

ethaanastasia
The bubbly person behind the writings. Kinda depressed but well dressed.
Lihat profil lengkapku

About Me

ethaanastasia
The bubbly person behind the writings. Kinda depressed but well dressed.
Lihat profil lengkapku
  • Beranda

Latest Posts

  • Self-love.
    Setelah saya baca-baca ulang di blog ini, dulu saya pernah nulis “sakit hati di usia 20-an” waktu saya masih eaaaarrrrlyyyy 20, kayaknya umu...
  • Grief Phase
     Kata orang, "When you're happy, you enjoy the music. But when you're sad, you understand the lyrics." Same goes to me. Ka...
  • Hangat, sekali.
    Dua hari kemarin, saya diem-diem nangis. Akhir bulan kemarin, saya juga nangis. Semua tercatat rapi di buku yang saya tulis sendiri. Saya se...
  • The Energy.
    "Girls, kalian harus bisa aktifkan feminine energy kalian kalau pengen dapat cowok dengan masculine energy." "Jangan terlalu ...
  • That One Word.
     (ceritanya lagi nengokin blog setelah ditinggalin lama banget..) Oh, hi there. Apa kabar? How's life? Mine has its ups and downs, but s...
  • A self reminder.
    Dulu, kalo saya suka sama orang, saya ngomong. Saya nggak suka sesuatu, saya ngomong. Saya nggak suka diperlakukan begini, saya ngomong. Dul...
  • It's what we called; Human Journey.
    Saat ini, saya hanya seorang perempuan biasa berusia 28 tahun. Dan setelah 28 tahun saya hidup, banyak sekali pertemuan dan perpisahan yang ...
  • Oh, I can see the pink sky (again, finally)
      “Nggak mungkin sih hidup begini banget terus hadiahnya cuma piring cantik” — me mumbling to myself after a rough day.   “Iya tau nanti sem...
  • Memaafkan Diri.
    So, someone noticed that it’s been months since the last time I wrote here. Ya, memang.   By the last post, you can see a short writing....
  • What if…?
    Pukul 01.28 dini hari. Tiba-tiba bangun, nggak bisa tidur lagi. Saya scroll-scroll TikTok, lanjut scroll-scroll blog ini. Saya nulis dari um...

Blogroll

Flickr

About

Copyright 2014 Harta, Tahta, Margaretha.
Designed by OddThemes